YOUTUBE

Halaman

Minggu, 29 Mei 2016

Talak atau Perceraian dalam Agama Islam

Islam dalam syarat-syarat tertentu memperbolehkan talak dan perceraian istri dan suami. Dan menganggapnya tindakan yang tidak disenangi dan dibenci. Dan dalam hadis-hadis hal itu dicela.

Imam Al-Shâdiq as berkata, “Allah mencintai rumah yang didalamnya terdapat pengantin dan membenci rumah yang di dalamnya terjadi talak (perceraian). Tidak ada sesuatu yang lebih dibenci oleh Allah selain talak.”[94]

Imam Al-Shâdiq as berkata, “Diantara pekerjaan-pekerjaan yang halal, tidak ada perbuatan yang lebih jelek dari pada talak, Allah membenci para lelaki yang banyak melakukan talak dan mengambil istri.”[95]

Beliau as juga berkata, “Ketika Nabi Saw. mendengar bahwa Abu Ayyub ingin mentalak istrinya, beliau Saw. Bersabda, “Talaknya Abu Ayyub adalah dosa.”[96]

Imam Muhammad Al-Bâqir asmeriwayatkan dari Rasulullah Saw. yang bersabda, “Malaikat Jibril berwasiat padaku tentang istri hingga aku mengira bahwa tidak boleh mentalaknya (menceraikannya) kecuali istri yang melakukan kekejian yang nyata.”[97]

Imam Al-Shâdiq as berkata, “Menikahlah kalian dan janganlah melakukan talak karena “Arsy Allah bergetar disebabkan talak.”[98]

Rasulullah Saw. bersabda, “Tidak ada sesuatu yang mubah yang lebih dicintai oleh Allah selain nikah, dan tidak ada sesuatu yang mubah yang lebih dibenci Allah selain talak.”[99]

Talak (perceraian) menurut perspektif Islam adalah pekerjaan yang sangat jelek dan buruk dimana sebisa mungkin dijauhkan karena ‘Arsy Allah bergoncang. Namun dengan beberapa alasan tidak diharamkan dan sangat dilarang. Untuk mencegah perceraian maka faktor-faktornya sangat diperangi yang sebagian dari itu akan dijelaskan:

1.    Selah satu faktor talak adalah kekecewaan suami terhadap istrinya yang sah dan mencintai serta mengharap perempuan asing. Salah satu faktor terpenting adalah para perempuan tidak memakai hijab atau berhijab jelek dan pandangan para pria. Di saat seorang laki-laki di gang atau jalanan melihat seorang perempuan yang lebih cantik dari istrinya dan lebih menarik, maka ada kemungkinan dia jatuh hati padanya dan kecewa terhadap istrinya. Ketika dia kembali ke rumahnya, dengan berbagai pertentangan dan dalih, dia membuat pahit kehidupan. Dan betapa banyak pada akhirnya terjerumus kepada talak (perceraian).

Islam guna mencegah terjadinya hal ini, dari satu sisi memerintahkan kepada para perempuan (istri) untuk menjaga hijabnya dan tidak meletakkan perhiasan-perhiasan dirinya dalam pandangan para lelaki asing dan supaya tidak merias dan mempesona kepada selain suaminya sendiri. Dari sisi lain Islam memerintahkan kepada para lelaki untuk tidak melihat kepada para perempuan selain muhrimnya dan menjauhkan dari gurauan dan kata-kata manis dengan mereka. Apabila matanya melihat perempuan bukan muhrimnya, maka hendaknya tidak melihat lagi dan langsung menahan pandangannya.

2.    Faktor kedua talak (perceraian) adalah kekecewaan istri dan suami satu sama lain dan tidak terpenuhinya naluri seksual mereka. Banyaknya perceraian dan penyimpangan diakibatkan karena istri atau suami tidak terpenuhi dengan baik dalam memperoleh keinginan dan pemuasan naluri seksual.

Islam untuk mencegah terjadinya hal ini, memerintahkan kepada para perempuan (istri) untuk memakai pakaiannya yang paling bagus di rumah. Sesuai keinginan suami, merias dirinya dan supaya dilihat olehnya. Islam juga memerintahkan kepada para suami untuk menjaga kebersihan dan memangkas rambutnya dan supaya hidup dan elok di rumah. Dari sisi lain Islam mengingatkan kepada istri dan suami di saat melakukan hubungan seksual dan melakukan kenikmatan, jangan hanya berpikir untuk memuaskan naluri seksual dan hasratnya sendiri saja, namun juga harus berfikir untuk memberikan hasrat dan memuaskan pihak yang lain.

3.    Faktor ketiga adalah perilaku dan akhlak yang jelek, pertentangan, dalih, percekcokan dan keras kepala istri atau suami. Statistik menjelaskan bahwa faktor terpenting kebanyakan perceraian adalah ketidakselarasan prilaku istri dan suami.

Islam guna mencegah hal ini dan mengokohkan fondasi keluarga, menentukan hak-hak dan tugas-tugas bagi setiap istri dan suami. Dan menginginkan mereka supaya melakukannya. Disamping itu Islam memerintahkan mereka supaya menjauhi diskriminasi, penindasan dan kekerasan dan supaya lapang dada dan pemaaf dan menyelesaikan perbedaan rasa mereka dengan akal dan bijaksana. Tugas-tugas akhlak istri dan suami dibahas dalam kitab-kitab akhlak yang sebagian telah dijelaskan.

4.    Faktor yang lain dimana Islam untuk menyelesaikan perbedaan-perbedaan istri dan suami dan mencegah talak (perceraian) yang diperkirakan adalah topik pembentukan badan pencegah yang terbentuk dari dua orang. Salah satunya adalah dari keluarga istri dan yang lain dari keluarga suami. Dua orang ini bisa dari keluarga istri dan suami atau dari orang luar. Al-Qur’an mengatakan, “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”[100]

Untuk perbaikan (keluarga) badan penengah mengadakan pertemuan dan mengajak istri dan suami untuk ikut serta menyelidiki pokok perselisihan. Mendengarkan dengan penuh seksama dan bijaksana terhadap perkataan-perkataan mereka. Mengambil kebenaran pada setiap pihak. Mengingatkan kepada yang lain dengan penuh persahabatan dan simpatik. Memberitahukan kepada setiap dari mereka akan tugasnya. Kemudian mengajak mereka untuk memaafkan, lapang dada dan menjaga tugas-tugas ibu rumah tangga dan berusaha dalam mengokohkan fondasi suci pernikahan. Dan mengingatkan akibat jelek perselisihan dan perceraian. Dengan cara ini mendamaikan mereka.

Disebutkan bahwa rekonsiliasi oleh para penengah Islam mempunyai perbedaan yang banyak dengan rekonsilasi yang dipaksa oleh hukum. Rekonsilasi hukum seperti rekonsilasi dua orang yang berselisih, yang diwajibkan supaya tidak menindas hak-hak satu sama lain. Namun rekonsilasi yang dipersiapkan oleh Islam dengan badan penengah bukan keharusan (kewajiban) hukum melainkan menghilangkan kotoran-kotoran hati dan mencabut sumber perselisihan dan berusaha untuk menciptakan saling pengertian dan mengokohkan hubungan keluarga dan semangat dengan kehidupan dan menciptakan hubungan istri dan suami menjadi biasa. Keistimewaan rekonsilasi ini dengan yang pertama tidak tertutup bagi siapapun. Namun apabila para penengah setelah mengkaji dan melakukan tindakan-tindakan yang lazim sampai kepada kesimpulan bahwa perbedaan-perbedaan antara istri dan suami sangat dalam dan api percintaan dan hubungan suami istri sudah sangat padam dan sama sekali tidak ada harapan untuk memperbaikinya kendatipun dengan perintah untuk memaafkan dan lapang dada, dalam keadaan seperti ini, mereka membiarkan istri dan suami dengan keadaannya sendiri sehingga satu sama lain bercerai, atau memerintahkan mereka supaya bercerai.

5.    Faktor kelima yang bisa mencegah perceraian atau menghambatnya adalah pembayaran mahar. Seorang suami jika dari dulu telah memberikan mahar istrinya, maka dia tidak berhak mengambilnya kembali. Dan jika suami tidak memberi, maka dia harus membayarnya secara keseluruhan di saat bercerai.

Al-Qur’an mengatakan, “Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang diantara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun.

Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?

Bagaimana kami akan mengambilnya kembali. Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri. Dan mereka (istri-sitrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.”[101]

Mahar adalah hak syar’i dan hak hukum seorang istri. Dia bisa memperolehnya dengan setiap cara yang bisa dilakukan. Dan apabila suami tidak memberikannya secara tunai, maka dia harus membayar maharnya di saat bercerai. Apabila mahar berbentuk property atau uang yang bisa dijaga, pada batas tertentu bisa mencegah melakukan perceraian terlebih pada mereka yang miskin atau yang sedikit hartanya.

6.    Salah satu faktor lainnya adalah perlindungan dan penjagaan anak-anak serta penyediaan biaya mereka yang merupakan tanggung jawab suami. Jika kondisi keluarga adalah biasa dan istri dan suami hidup bersama-sama, maka kebanyakan para istri yang mengambil tanggung jawab menjaga anak-anak. Sehingga para suami mempunyai kesempatan bekerja dan menyediakan biaya-biaya keluarga.

Namun jika mereka satu sama lain berpisah dengan perceraian (talak). Maka kepengurusan dan penjagaan anak-anak juga tanggung jawab suami dan mengumpulkan diantara dua tanggung jawab ini adalah sangat sulit. Disamping itu anak-anak memerlukan seorang ibu yang mana suami tidak mampu menggantikan peran yang mana suami tidak mampu menggantikan peran sang ibu. Oleh karena itu, apabila sang ayah berfikir dengan baik dan mengkaji ulang akibat jelek dan persoalan-persoalannya, maka mayoritas mereka berpaling dari tindakan perceraian. Oleh karena itu adanya anak dan tanggungjawab menjaganya juga bisa termasuk salah satu jaminan kelanggengan dan kokohnya fondasi keluarga dan penghalang perceraian.

7.    Faktor lainnya adalah hadirnya dua orang saksi yang adil. Islam mensyaratkan bahwa sahnya talak adalah kehadiran dua orang saksi yang adil di saat melawan shighah talak. Karena dalam sahnya talak (perceraian) disyaratkan pelaksanaan yang benar bentuk talak, yang tidak bisa dilakukan oleh setiap orang.

Dari sisi lain, saat pelaksanaan shighah talak dua orang saksi yang adil harus hadir sehingga mereka mendengar shighah talak dan bisa bersaksi saat diperlukan. Oleh karena adanya pelaksanaan shighah talak dan dua orang saksi adil adalah tidak mudah dan perlu berlalunya waktu, maka mencegah suami untuk bersegera melakukan talak.

Di sepanjang masa ini, ada kemungkinan suami terbuka akalnya, berkurang kemarahan-kemarahan dan sifat keras kepala, berfikir dengan baik akan akibat-akibat jelek perceraian dan permasalahan-permasalahan masa depannya yang bermacam-macam dan berpaling dari melakukan perceraian. Teman-teman dan para penasehat yang menginginkan kebaikan juga bisa membantunya dalam persoalan ini. Setelah adanya semua syarat-syarat, seorang alim pelaksana shighah akad dan dua orang saksi adil tidak langsung menceraikan tetapi mereka berusaha menyingkirkan pertikaian mereka dan mendamaikan mereka dan dalam hal yang perlu lagi-lagi mereka menunda talak, sehingga ada kesempatan yang lebih banyak untuk berfikir akibatnya dan berpaling dari talak.

Islam karena penentang talak, maka dengan segala jalan yang bisa dilakukan, berusah mencegah terjadinya talak.

8.    Setelah talak dengan semua syarat-syarat dan jenjang-jenjang yang dilewati terlaksana, lagi-lagi Islam tidak mengklaim pernikahan sudah berakhir tetapi menentukan masa yang disebut masa ‘Iddah[102].

Dan dalam talak raj’î, seorang suami diperbolehkan untuk rujuk (kembali) kepada istrinya yang dulu tanpa memerlukan mahar dan akad baru.

Islam begitu sangat mempedulikan keterjagaan dan kelanggengan pernikahan hingga setelah terjadinya talak dan dalam masa ‘Iddah pun memberi kesempatan kepada suami supaya berfikir dengan baik dan jika dia ingin menikah dengan istri yang dulu, dia bisa rujuk lagi.

FILOSOFI SYARIAT TALAK

Mungkin seseorang menyanggah dalam pokok (dasar) pensyariatan talak dengan mengatakan: Apabila talak benar-benar dibenci oleh pemberi syariat Islam (Allah) -sebagaimana yang dulu anda katakan- mengapa dia tidak mengharamkannya? Pada dasarnya, bagaimana kehalalan bisa berkumpul dengan kebencian? Mengapa Islam memperbolehkan talak? Dalam jawaban harus dikatakan: Pada satu saat talak adalah hal yang jelek dan dibenci, namun pada sebagian kondisi adalah suatu keharusan yang tidak bisa dicegah. Misalnya memotong anggota tubuh adalah sesuatu yang menyakitkan dan dibenci. Namun dalam sebagian situasi dan kondisi memotong anggota badan adalah keharusan dan untuk kemaslahatan manusia. Seperti halnya dalam kasus penyakit kanker seperti itu. Apabila melanjutkan ikatan pernikahan bagi istri dan suami memberatkan, menyakitkan dan tidak bisa ditanggung dan tidak ada jalan lain melainkan talak, maka talak adalah jalan (cara) terbaik penyelesaian. Sebagai contoh salah satu persoalan ini adalah ketika api asmara dan cinta sang suami secara umum telah padam dan sama sekali tidak mencintai istrinya. Dalam kasus seperti ini istri telah jatuh dari kedudukan cinta dan daya tariknya, dan fondasi keluarga telah hancur. Sebuah rumah tangga yang tidak ada cinta didalamnya adalah dingin, gelap dan menakutkan. Bukan hanya tempat yang tidak tenang bagi istri dan suami tetapi juga penjara, gelap bagai neraka jahannam.

Perkawinan adalah ikatan alamiah yang terikat antara suami dan istri, sangat berbeda dengan perjanjian-perjanjian sosial seperti jual beli, pegadaian, perdamaian dan kerja sama. Semua ini merupakan perjanjian-perjanjian yang hanya bersifat sosial dan anggapan belaka dimana alam dan naluri tidak ikut campur di dalamnya. Berbeda dengan pernikahan yang merupakan suatu ikatan alamiah dan mempunyai akar dalam kontek alam dan naluri kedua pasangan dan bersumber dari bentuk ketertarikan internal suami istri dan kecenderungan menyatu, berkaitan dan satu hati. Keterkaitan ini dengan dua bentuk yang berbeda dalam tabiat kedua pasangan. Dari pihak suami dengan bentuk cinta, rasa suka, keinginan dan memiliki pribadi istri. Dan dari pihak istri dengan bentuk pesona, daya tarik, menundukkan hati dan mengambil hatinya. Bangunan rumah tangga tegak atas dua fondasi ini. Dan apabila kedua pasangan sampai kepada keinginan internal dirinya, maka pusat rumah tangga menjadi hangat, tentram dan elok. Suami akan bersemangat dan penuh harapan terhadap keluarganya. Dan akan bersungguh-sungguh dan berkorban untuk menjamin kesejahteraan mereka. Dan istri akan menganggap dirinya sukses dan beruntung. Dan berusaha dengan berkorban sebagai istri, ibu rumah tangga dan pengasuh anak.

Namun apabila seorang suami tidak lagi mencintai istrinya yang sah dan bosan bertemu dan bergaul dengannya dan si istri juga merasakan bahwa dia sudah tidak dicintai dan suaminya tidak mencintainya. Dalam asumsi seperti ini, keluarga sudah kehilangan dua fondasi pokoknya dan sudah termasuk hancur. Kehidupan dalam keluarga yang dingin dan saling berpencar bagi istri dan suami adalah sangat sulit dan menyakitkan. Dan melanjutkan rumah tangga seperti ini sama sekali tidak baik bagi kedua pasangan. Dalam syarat-syarat seperti ini, Islam walaupun membenci talak, menganggapnya jalan keluar paling baik dan memperbolehkannya. Pensyariatan hukum talak untuk kasus-kasus seperti ini.

Permasalahan lain adalah tidak adanya keharmonisan akhlak (moral). Apabila istri dan suami tidak mempunyai keserasian moral, memiliki pemikiran ganda, keduanya angkuh dan keras kepala, siang malam percekcokan, pertengkaran, keduanya tidak mendengarkan nasehat dan petunjuk orang. Sama sekali tidak siap untuk memperbaiki dan membetulkan diri mereka. Kehidupan dalam rumah tangga seperti ini juga sangat sulit dan menyakitkan. Dan melanjutkan rumah tangga seperti ini tidak menguntungkan istri ataupun suami. Dalam kasus seperti ini juga, talak adalah jalan keluar terbaik. Dan Islam memperbolehkannya. Oleh karena itu, talak dalam sebagian kasus adalah suatu keharusan sosial dan jalan terbaik dan tidak bisa dicegah.

Mungkin seseorang berkata: Andaikan dalam kondisi darurat kita menerima pembolehan talak, namun hukum talak adalah mutlak (absolut). Dan mengizinkan kepada para suami yang plin-plan untuk menceraikan istrinya yang terzalimi dengan sedikit dalih bahwa dia menggunakan masa mudinya, daya kesehatan dan kesegaran dirinya di dalam rumah sang suami tanpa kesetiaan. Lalu suami mengeluarkannya dari sarang habitatnya. Dan setelah beberapa waktu, sang suami mengambil istri yang lain. Bukankah pembolehan talak semacam ini menzalimi istri? Dalam jawaban dikatakan: Islam juga sangat menentang sifat plin-plan dan tindakan-tindakan talak yang pengecut dan sangat melawan faktor-faktornya.

Dan Islam meletakkan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan untuk pelaksanaan talak dan menciptakan halangan-halangan yang sebisa mungkin mencegah terjadinya talak. Namun jika perempuan dengan alasan apapun sudah tidak dicintai dan dia dibenci oleh suami. Apa yang harus dilakukan dan apa jalan keluarnya? Istri merasakan bahwa dia bukan kekasih suaminya dan bukan ibu rumah tangga dan suami tidak menyukainya. Kejadian yang menyakitkan seperti ini merupakan hinaan terbesar dan penyiksaan terhadap istri. Apakah maslahat kita menjaga istri semacam ini di dalam rumah dengan paksaan hukum dan kita mencegahnya dari penceraian?

Dengan paksaan hukum, bisa menjaga istri di dalam rumah dan memaksa suami untuk membayar nafkah. Namun tidak bisa menciptakan kecintaan padanya yang merupakan dasar/fondasi kehidupan perkawinan. Disini juga Islam kendatipun membenci talak namun menganggapnya jalan penyelesaian terbaik dan memperbolehkannya.

Mungkin seseorang akan mengatakan: Jika talak di sebagian keadaan adalah suatu keharusan dan jalan penyelesaian terbaik suatu permasalahan, mengapa talak hanya dikhususkan kepada suami, sementara istri tidak diberikan hak talak? Karena kemungkinan seperti ini berkenaan dengan istri juga ada.

Mungkin sang istri tidak lagi mencintai suaminya dan dia sudah tidak suka untuk melanjutkan kehidupan perkawinan. Dalam kasus seperti ini juga bisa dikatakan. Karena kecintaan tidak ada, maka kehidupan rumah tangga praktis berakhir dan juga harus diberikan hak kepada istri untuk menceraikan suaminya dan mengumumkan berakhirnya perkawinan. Dalam jawaban dikatakan: Ketidakcintaan istri tidak bisa diartikan sebagai akhir kehidupan rumah tangga tetapi salah satu tanda keteledoran atau kelalaian sang suami. Dan kelalaiannya adalah dalam masalah melaksanakan tugas-tugas perkawinan dan sebagai suami. Karena kunci ikatan hati dan kecintaan istri dalam ikhtiar suami. Apabila suami betul-betul mencintai istrinya dan sangat perhatian padanya, maka dia akan melakukan tugas-tugas sebagai suami dengan baik, dan memperbaiki akhlak dan perilakunya. Istri juga kebanyakan akan menjadi semangat, penuh harapan dan penuh perhatian dan berusaha untuk menjaga hati suaminya dalam otoritasnya. Oleh karena itu, apabila istri tidak perhatian kepada kehidupan dan suaminya maka hal itu adalah keteledoran dan kelalaian suami.

Dalam bentuk seperti ini, maka talak bukan suatu keharusan tetapi harus memberitahukan kepada sang suami akan tugas-tugasnya dan skill beristri sehingga meninjau kembali prilaku, perkataan dan akhlaknya.

Mungkin akan dipertanyakan: Apabila sang suami memukul istrinya atau tidak memberikan nafkahnya dan menyulitkannya atau tidak melakukan hak tidur bersama atau menyakitinya atau memakinya sampai diapun tidak mau menceraikannya. Dalam kondisi seperti ini apa taklif (tugas) si istri? Apakah anda akan mengatakan padanya: Dia harus bersabar, tenang sampai menjelang ajal? Mengapa dalam kondisi seperti ini tidak diberikan hak talak kepada istri sehingga menyelamatkan dirinya dari penjara menyakitkan seperti ini? Dalam jawaban dikatakan, Islam dibangun atas pilar keadilan dan kebijaksanaan dan menjaga hak-hak para individu. Sama sekali tidak memperbolehkan dan tidak menekankan prilaku yang tidak pantas dan kezaliman suami terhadap istrinya bahkan sangat menentangnya dan membela hak-hak istri.

Istri dalam kondisi seperti ini merujuk kepada badan para penengah dan memohon kepada mereka supaya menasehati suaminya dan mengajaknya untuk menjaga keadilan kebijaksanaan dan melakukan tugasnya. Apabila mereka sukses dalam hal ini, maka dia (suami) melanjutkan kehidupannya dan jika suami menolak menerima hak istrinya, maka si istri memaparkan pengaduannya kepada penguasa syar’i Islam atau pengadilan keluarga. Penguasa syar’i Islam akan menghadirkan suami yang melanggar dan memintanya supaya menghentikan kezalimannya dan melakukan tugas-tugasnya. Apabila dia menerima, maka memaksanya untuk bercerai. Dan jika dia menolak, maka penguasa Islam itu sendiri yang menceraikan istri dan mengambil hak-hak istri dan suaminya.

94)   Wasail Al-Syiah juz 22 halaman 7
95)   Ibid halaman 8
96)   Ibid halaman 8
97)   Makârim Al-Akhlak: Juz 1 Halaman: 248
98)   Ibid: Halaman 225
99)   Mustadrah Al-Wasâil: Juz 15 Hal. 280
100)     Al-Nisâ’ (4): 35
101)   Al-Nisâ’ (4): 20-21
102)     ‘Iddah talak raj’î adalah masa (waktu) terjadinya talak sampai istri melihat 3 kali kebiasaan bulannya (menstruasi).

Sumber copy paste dari www.ibrahimamini.com/id/node/2136

0 komentar:

Posting Komentar