YOUTUBE

Halaman

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 01 September 2016

Berapakah fee atau tarif advokat/pengacara

Mengenai fee advokat atau menggunakan istilah yang digunakan UU, honorarium atas jasa hukum seorang advokat, pada prinsipnya ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan antara advokat dengan kliennya. Demikian ketentuan Pasal 21 ayat (2) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Jadi, tidak ada standar atau tarif baku mengenai honorarium jasa hukum advokat, hal ini dijelaskan dalam artikel Tarif Advokat di Jakarta.

Ari Yusuf Amir dalam buku Strategi Bisnis Jasa Advokat (hal. 180) menulis bahwa menentukan tarif seorang advokat memang persoalan gampang-gampang sulit. Di Indonesia tarif dalam menangani perkara hukum belum ada aturan yang baku. Oleh karena itu masing-masing lawfirm mempunyai patokan sendiri-sendiri.

Dalam salah satu artikel hukumonline Ari Yusuf Amir: Jangan Gadaikan Reputasi Advokat dengan Membohongi Klien, Ari Yusuf membagi fee advokat ke dalam tiga klasifikasi yaitu;

1.      Lawyer fee, yang umumnya dibayar di muka sebagai biaya profesional sebagai advokat.

2.      Operational fee, yang dikeluarkan klien selama penanganan perkara oleh advokat, dan

3.      Success fee, prosentasenya ditentukan berdasarkan perjanjian antara advokat dengan klien. Success fee dikeluarkan klien saat perkaranya menang, tapi jika kalah, advokat tidak mendapat success fee.

Di sisi lain, gambaran mengenai fee advokat juga dapat dilihat dalam buku Advokat Indonesia Mencari Legitimasi yang diterbitkan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (“PSHK”). Dalam buku tersebut (hal. 315) ditulis antara lain bahwa sebuah kantor hukum di Jakarta menetapkan komponen biaya jasa hukum untuk kasus perceraian sebagai berikut:

1.      honorarium advokat;

2.      biaya transport;

3.      biaya akomodasi;

4.      biaya perkara;

5.      biaya sidang; dan

6.      biaya kemenangan perkara (success fee) yang besarnya antara 5-20 persen.

Dari uraian di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa fee advokat yang dihitung berdasarkan prosentase adalah komponen success fee. Sebagaimana dijelaskan Ari Yusuf besarnya success fee ditentukan berdasarkan kesepakatan atau perjanjian antara advokat dengan klien. Jadi, jika Anda sebagai klien keberatan dengan success fee sebesar 40 persen maka Anda dapat menegosiasikan jumlah tersebut dengan advokat Anda. Apalagi berdasarkan hasil penelitian PSHK rata-rata besarnya success fee jasa hukum di Jakarta yaitu antara 5-20 persen.

Namun, itu bukan berarti jika besarnya success fee lebih dari 20 persen adalah tidak wajar, karena hal tersebut juga ditentukan dari tingkat kesulitan perkara yang ditangani. Sehingga untuk menentukan apakah nilai 40 persen tersebut wajar atau tidak, tentu harus dilihat kasus-per-kasus.

Ingat pula bahwa klien berhak meminta informasi secara terbuka dari advokat mengenai perhitungan honorarium, komponen-komponennya dan cara pembayarannya.

Dasar hukum:

Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat

Sumber :
Oleh : Adi Condro Bawono, S.H., M.H.

Copy paste dari = m.hukumonline.com/klinik/detail/lt4f0acb102f02e/fee-yang-wajar-untuk-advokat-success-fee-

Minggu, 29 Mei 2016

Harta Gono Gini Dalam Islam, (Harta Bersama)

عَنْ عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ الْمُزَنِيُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

Dari Amru’ bin Auf al Muzani dari bapaknya dari kakeknya bahwa Rasulullah saw bersabda: “Perdamaian adalah boleh di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal dan perdamaian yang menghalalkan yang haram “

Akhir-akhir ini banyak dari masyarakat yang menanyakan status harta gono-gini, bahkan terakhir ada seorang muslimah yang dicerai oleh suaminya, kemudian muslimah tersebut meminta harta gono gini dari suaminya 50%, suaminya-pun merasa keberatan dengan permintaan tersebut, akhirnya mereka berdua sepakat untuk pergi ke pengadilan. Bagaimana sebenarnya kedudukan harta gono gini ini dalam pandangan Islam?

Konsep Harta Dalam Islam

Sebelum berbicara masalah harta gono–gini, sebaiknya kita mengenal terlebih dahulu tentang “konsep harta “dalam rumah tangga Islam :

Pertama : Bahwa harta merupakan tonggak kehidupan rumah tangga, sebagaimana firman Allah SWT :

وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا

“ Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta kamu yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan” [1]

Kedua : Kewajiban Suami yang berkenaan dengan harta adalah sebagai berikut :

Memberikan mahar kepada istri, sebagaimana firman Allah SWT :
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً

“ Berikanlah mas kawin kepada wanita yang kamu nikahi sebagai bentuk kewajiban (yang harus dilaksanakan dengan ikhlas)” [2]

Memberikan nafkah kepada istri dan anak, sebagaimana firman Allah SWT :
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“ Dan kepada ayah berkewajiban memberi nafkah dan pakaian yang layak kepada istrinya “[3]

Ketiga : Suami tidak boleh mengambil harta istri, kecuali dengan izin dan ridhonya, sebagaimana firman Allah SWT :

فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا

“ Jika mereka (istri-istri kamu) menyerahkan dengan penuh kerelaan sebagian mas kawin mereka kepadamu, maka terimalah pemberian tersebut sebagai harta yang sedap dan baik akibatnya “[4]

Keempat : Jika terjadi perceraian antara suami istri, maka ketentuannya sebagai berikut :

Istri mendapat seluruh mahar jika ia telah melakukan hubungan sex dengan suaminya, atau salah satu diantara kedua suami istri tersebut meninggal dunia dan mahar telah ditentukan, dalam hal ini Allah SWT berfirman :
وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا

“ Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata? bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. “[5]

Istri mendapat setengah mahar jika dia belum melakukan hubungan sex dengan suaminya dan mahar telah ditentukan, sebagaimana firman Allah SWT :
وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ

“ Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu. “[6]

Istri mendapat mut’ah (uang pesangon) jika dia belum melakukan hubungan sex dengan suaminya dan mahar belum ditentukan, sebagaimana firman Allah SWT :
لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ

“ Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. rang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.[7]

Bagaimana Status Harta Gono-Gini?

Salah satu pengertian harta gono - gini adalah harta milik bersama suami - istri yang diperoleh oleh mereka berdua selama di dalam perkawinan, seperti halnya jika seseorang menghibahkan uang, atau sepeda motor, atau barang lain kepada suami istri, atau harta benda yang dibeli oleh suami isteri dari uang mereka berdua, atau tabungan dari gaji suami dan gaji istri yang dijadikan satu, itu semuanya bisa dikatagorikan harta gono- gini atau harta bersama. Pengertian tersebut sesuai dengan pengertian harta gono-gini yang disebutkan di dalam undang-undang perkawinan, yaitu sebagai berikut :

“ Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama (pasal 35 UU Perkawinan)

Untuk memperjelas pengertian di atas, hal-hal di bawah ini perlu menjadi catatan :

Pertama : Barang-barang yang dibeli dari gaji (harta) suami, seperti kursi, tempat tidur, kulkas, kompor, mobil adalah milik suami dan bukanlah harta gono-gini, termasuk dalam hal ini adalah harta warisan yang didapatkan suami, atau hadiah dari orang lain yang diberikan kepada suami secara khusus.

Kedua : Barang-barang yang dibeli dari gaji (harta) suami, kemudian secara sengaja dan jelas telah diberikan kepada istrinya, seperti suami yang membelikan baju dan perhiasan untuk istrinya, atau suami membelikan motor dan dihadiahkan untuk istrinya, maka harta tersebut, walaupun dibeli dengan harta suami, tetapi telah menjadi harta istri, dan bukan pula termasuk dalam harta gono- gini.

Ketiga : Barang-barang yang dibeli dari harta istri, atau orang lain yang menghibahkan sesuatu khusus untuk istri, maka itu semua adalah menjadi hak istri dan bukan merupakan harta gono- gini.

Bagaimana Pembagian Harta Gono- Gini Menurut Islam?

Setelah mengetahui pengertian harta gono gini, timbul pertanyaan berikutnya, bagaimana membagi harta gono gini tersebut menurut Islam?

Di dalam Islam tidak ada aturan secara khusus bagaimana membagi harta gono – gini. Islam hanya memberika rambu-rambu secara umum di dalam menyelesaikan masalah bersama, diantaranya adalah :

Pembagian harta gono-gini tergantung kepada kesepakatan suami dan istri. Kesepakatan ini di dalam Al Qur’an disebut dengan istilah “Ash Shulhu “yaitu perjanjian untuk melakukan perdamaian antara kedua belah pihak (suami istri) setelah mereka berselisih. Allah SWT berfirman:

وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحَّ وَإِنْ تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا

“ Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya untuk mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) “[8]

Ayat di atas menerangkan tentang perdamaian yang diambil oleh suami istri setelah mereka berselisih. Biasanya di dalam perdamaian ini ada yang harus merelakan hak-haknya, pada ayat di atas, istri merelakan hak-haknya kepada suami demi kerukunan antar keduanya. Hal ini dikuatkan dengan sabda Rasulullah saw :

عَنْ عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ الْمُزَنِيُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

Dari Amru’ bin Auf al Muzani dari bapaknya dari kakeknya bahwa Rasulullah saw bersabda: “Perdamaian adalah boleh di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal dan perdamaian yang menghalalkan yang haram “[9]

Begitu juga dalam pembagian harta gono-gini, salah satu dari kedua belah pihak atau kedua-duanya kadang harus merelakan sebagian hak-nya demi untuk mencapai suatu kesepakatan. Umpamanya : suami istri yang sama-sama bekerja dan membeli barang-barang rumah tangga dengan uang mereka berdua, maka ketika mereka berdua melakukan perceraian, mereka sepakat bahwa istri mendapatkan 40 % dari barang yang ada, sedang suami mendapatkan 60 %, atau istri 55 % dan suami 45 %, atau dengan pembagian lainnya, semuanya diserahkan kepada kesepakatan mereka berdua.

Memang kita temukan di dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) dalam Peradilan Agama, pasal 97, yang menyebutkan bahwa :

“ Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

Keharusan untuk membagi sama rata, yaitu masing-masing mendapatkan 50%, seperti dalam KHI di atas, ternyata tidak mempunyai dalil yang bisa dipertanggung jawabkan, sehingga pendapat yang benar dalam pembagian harta gono gini adalah dikembalikan kepada kesepakatan antara suami istri.

Kesepakatan tersebut berlaku jika masing-masing dari suami istri memang mempunyai andil di dalam pengadaan barang yang telah menjadi milik bersama, biasanya ini terjadi jika suami dan istri sama-sama bekerja. Namun masalahnya, jika istri di rumah dan suami yang bekerja, maka dalam hal ini tidak terdapat harta gono- gini, dan pada dasarnya semua yang dibeli oleh suami adalah milik suami, kecuali barang-barang yang telah dihibahkan kepada istri, maka menjadi milik istri. Wallahu A’lam

RUU Harta Gono Gini

Definisi Perkawinan berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, ialah :

“ Ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” .

Dalam setiap Perkawinan tidak terlepas oleh adanya harta benda, baik yang diperoleh sebelum perkawinan, pada saat perkawinan berlangsung maupun yang diperoleh selama menjadi suami-istri dalam suatu ikatan perkawinan.

Undang-Undang Perkawinan membedakan harta benda dalam perkawinan, yang diatur pada Pasal 35 bahwa :

1)      Harta benda diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

2)      Harta benda yang diperoleh masing-masing  sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah pengawasan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Dengan adanya perbedaan jenis harta benda dalam perkawinan tersebut mempengaruhi cara melakukan pengurusannya. Harta bersama diurus secara bersama-sama oleh suami-isteri. Dalam melakukan pengurusan harta bersama tersebut, meraka dapat bertindak dengan adanya persetujuan kedua belah pihak. Artinya, suami atau isteri jika melakukan perbuatan hukum terhadap harta bersama berdasarkan kesepakatan bersama. Berbeda dengan harta bawaan, pengurusannya dilakukan oleh masing-masing pihak, suami atau isteri, kecuali apabila mereka telah menentukan lain. Masing-masing pihak, suami atau isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta bawaannya masing-masing. Suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan meraka. Akan tetapi, persetujuan itu bukanlah suatu kewajiban.

Demikan pula dalam penguasaan dan perlekatan hak kepemilikan atas 2 (dua) jenis harta dalam perkawinan yang telah jelas dipisahkan oleh Undang-Undang Perkawinan.

Hal tersebut di atas dapat dilihat dalam Pasal 36 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang berbunyi :

1)      Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.

2)      Mengenai harta bawaan masing-masing, suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

Sumber copy paste dari
www.ahmadzain.com/read/karya-tulis/232/harta-gono-gini-dalam-islam/

Hukum Perkawinan, Pembagian Harta Bersama atau dikenal sebagai HARTA GONO GINI

Dasar hukum yang mengatur mengenai permasalahan seputar harta bersama diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan“) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI – khusus bagi yang beragama Islam).

A. Pengertian Harta Bersama
Harta bersama adalah setiap harta benda atau hasil kekayaan yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan. Harta bersama meliputi harta yang diperoleh atau dihasilkan dari usaha/pekerjaan suami dan istri ataupun hasil usaha salah seorang dari mereka. Jadi meskipun harta tersebut berasal dari hasil pekerjaan si suami, si istri tetap mempunyai hak atas harta bersama. Harta bersama dapat berupa benda berwujud, benda tidak berwujud, baik benda bergerak (termasuk surat-surat berharga) maupun tidak bergerak.  Sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan, apabila terjadi perceraian maka masing-masing pihak yaitu si suami maupun si istri berhak atas setengah bagian dari harta bersama.

B. Harta yang tidak termasuk Harta Bersama

Perlu diingat ketentuan Pasal 35 UU Perkawinan yang mengatakan bahwa harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Dengan demikian, maka harta bawaan si suami tetap menjadi milik suami dan harta bawaan si istri tetap menjadi milik istri.

Sehingga dapat diketahui secara jelas bahwa warisan, mahar, hadiah dan hibah yang didapat selama perkawinan bukanlah harta bersama.

C. Perjanjian Perkawinan
Perjanjian perkawinan atau dalam prakteknya lazim disebut dengan perjanjian pisah harta, adalah suatu perjanjian yang diadakan pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan.

Hal-hal yang dapat diatur dalam suatu perjanjian pisah harta adalah:

1. Ketentuan mengenai cara pembagian harta bersama termasuk prosentase pembagiannya. Dalam poin ini juga dapat dimasukkan ketentuan mengenai prosentase pembagian yang lebih besar bagi pihak istri apabila si istri dilarang bekerja, menanggung beban ganda, mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan sebagainya.
2. Ketentuan mengenai pengaturan atau penanganan urusan keuangan keluarga selama perkawinan berlangsung.
3. Ketentuan mengenai pemisahan harta selama perkawinan berlangsung, artinya harta yang diperoleh atau dihasilkan oleh suami dan istri terpisah sama sekali dan berada dibawah penguasaan masing-masing.

Perjanjian perkawinan sebaiknya dibuat dihadapan Notaris dan dicatatkan dalam lembaga pencatatan perkawinan, agar dapat mempunyai akibat hukum kepada pihak ketiga. Bagi yang beragama Islam dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) dan bagi yang beragama non Islam dicatat di Kantor Catatan Sipil.

D. Gugatan Pembagian Harta Bersama

Bagi yang beragama Islam, gugatan pembagian harta bersama diajukan ke Pengadilan Agama. Gugatan tersebut dapat diajukan bersamaan dengan gugatan perceraian maupun diajukan terpisah setelah adanya putusan cerai. Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam, apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. Sedangkan bagi seorang suami atau istri yang pasangannya hilang harus ditangguhkan sampai adanya putusan Pengadilan Agama.

Sedangkan bagi yang beragama selain Islam, gugatan pembagian harta bersama baru dapat diajukan setelah adanya putusan perceraian dari pengadilan.

Bagi pihak yang merasa tidak puas dengan putusan harta bersama yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri, maka dapat mengajukan upaya hukum banding dalam jangka waktu 14 hari yang dihitung sejak diketahui maupun diterimanya putusan tersebut.

*******

*Artikel diatas merupakan pengetahuan hukum secara umum, dan tidak ditujukan sebagai suatu pendapat yang mengikat. Apabila anda mempunyai permasalahan hukum yang serupa, sebaiknya dikonsultasikan terlebih dahulu guna mendapat masukan yang lebih baik.

Sumber copy paste dari https://vandhanoe.wordpress.com/2015/03/03/hukum-perkawinan-pembagian-harta-bersama-harta-gono-gini/

TATA URUTAN PERSIDANGAN PERKARA PERDATA DI PENGADILAN NEGERI

SIDANG  I

1.  Ketua  Majeli s  hakim  yang memimpin  perisdangan dan  hakim anggota ( 2 hakim )  masuk  dalam  Persidangan
2.  Ketua  Majeli s  hakim  yang memimpin  perisdangan : Sidang dinyatakan di buka dan tebuka  untuk  umum  (  keuali  perkara perceraian dinyakan tertutup  
      untuk umum  )
3.  Ketua  Majeli s  hakim  yang memimpin  persidangan ,membacakan  Nomor perkara  dan membacakan nama pihak-pihak yang berperkara  sesuai yang tertera ada  pada gugatan tersebut.
4.  Ketua  Majeli s  hakim  yang memimpin  peridangan,  pemeriksaan  para  pihak  berperkara yaitu  ;
       -   Penggugat
       -   tergugat
            apabila ada pihak  lain  maka  di sebut  Turut  Tergugat 
5.  Ketua  Majeli s  hakim  yang memimpin  persidangan , melakukan upaya perdamaian kepada para pihak dengan  menanyakan kepada para pihak yang berperkara sudah ada upaya damai atau putuan tidak di lanjutkan. Apabila para pihak tidak ada jalan damai  maka majelis menunjuk  hari dan tanggal  untuk melakukan mediasi dan kebiasaan persidangan Ketua  Majeli s  hakim  yang memimpin  persidangan menunjuk dan atau menyebutkan nama yang akan memimpin persidangan  ( Apabila pihak penggugat dapat mengusulkan nama yang akan memimpin persidangan ) ,  dan sidang  dilanjutkan pada persidangan berikutnya  (Max. 14 hari )sehingga  majelis hakim yang memimpin menunda persidangan setelah di lakukan Mediasi

             Catatan  :
                                   =   MEDIASI  =
               -  MEDIASI merupakan proses penyelesaian sengketa di pengadilan yang dilakukan melalui perundingan diantara pihak-pihak yang berperkara.
                  Perundingan itu dibantu oleh mediator yang berkedudukan dan berfungsi sebagai pihak ketiga yang netral. Mediator berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai alternatif penyelesaian sengketa yang sebaik-baiknya dan saling menguntungkan.

               -  Menurut pasal 13 PERMA, jika mediasi gagal, maka terhadap segala sesuatu yang terjadi       selama proses mediasi tersebut tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti. 

             .  Setelah dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan Prosedur Mediasi di Pengadilan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2 Tahun 2003, ternyata ditemukan beberapa permasalahan yang bersumber dari Peraturan Mahkamah Agung tersebut, sehingga Peraturan Mahkamah Agung No। 2 Tahun 2003 perlu direvisi dengan maksud untuk lebih mendayagunakan mediasi yang terkait dengan proses berperkara di Pengadilan। Perma No। 1 Tahun 2008 terbit setelah melalui sebuah kajian oleh tim yang dibentuk Mahkamah Agung। Salah satu lembaga yang intens mengikuti kajian mediasi ini adalah Indonesian Institute for Coflict Transformation (IICT)।

Perma Nomor 1 Tahun 2008 terdiri dari VIII Bab dan 27 pasal yang telah ditetapkan oleh Ketua Makamah Agung pada tanggal 31 Juli 2008। Perma No. 1 Tahun 2008 membawa beberapa perubahan penting, bahkan menimbulkan implikasi hukum jika tidak dijalani. Misalnya, memungkinan para pihak menempuh mediasi pada tingkat banding atau kasasi।

Sidang  ke 2  :  - Ketua  Majeli s  hakim  yang memimpin  persidangan melakukan upaya mendmaikan para pihak ;
                        : -  Ketua  Majeli s  hakim  yang memimpin  persidangan, meminta  Penggugat   untuk membacakan  gugatan  kepada  penggugat

Sidang  ke 3  :  Pembacaan  dan Penyerahan  EKsepsi  dari  Tergugat;

Sidang ke 4  :  Pembacaan  dan  Penyerahan  Replik  dari  Penggugat ;

Sidang ke 5  :  Pembacaan  dan  Penyerahan  Duplik  dari  Tergugat ;

Sidang ke 6  :  Penyerahan  Pembuktian  dari  Penggugat  dnn  Tergugat  ( kalau  ada   pihak  yaitu  Turut tergugat  juga  menyerahkan  Pembuktian )

Sidang ke 7  :   Menyiapkan  Saksi   dari  Penggugat,  atau  Tergugat  atau  dari pihak  Turut Tergugat ( kalau ada untuk Turut tergugat )
Sidang ke 8  :  Pembacaan  dan  Penyerahan  Kesimpulan  dari  Penggugat  atau  Tergugat  atau  dari pihak  Turut Tergugat ( kalau ada untuk Turut tergugat )
Sidang ke 9  :   PUTUSAN

Sumber copy paste dari
ludwichbernharhard.blogspot.co.id/2012/05/tata-urutan-persidangan-perkara-perdata.html?m=1

TATA URUTAN PERSIDANGAN PERKARA PERDATA DI PENGADILAN NEGERI

SIDANG  I

1.  Ketua  Majeli s  hakim  yang memimpin  perisdangan dan  hakim anggota ( 2 hakim )  masuk  dalam  Persidangan
2.  Ketua  Majeli s  hakim  yang memimpin  perisdangan : Sidang dinyatakan di buka dan tebuka  untuk  umum  (  keuali  perkara perceraian dinyakan tertutup  
      untuk umum  )
3.  Ketua  Majeli s  hakim  yang memimpin  persidangan ,membacakan  Nomor perkara  dan membacakan nama pihak-pihak yang berperkara  sesuai yang tertera ada  pada gugatan tersebut.
4.  Ketua  Majeli s  hakim  yang memimpin  peridangan,  pemeriksaan  para  pihak  berperkara yaitu  ;
       -   Penggugat
       -   tergugat
            apabila ada pihak  lain  maka  di sebut  Turut  Tergugat 
5.  Ketua  Majeli s  hakim  yang memimpin  persidangan , melakukan upaya perdamaian kepada para pihak dengan  menanyakan kepada para pihak yang berperkara sudah ada upaya damai atau putuan tidak di lanjutkan. Apabila para pihak tidak ada jalan damai  maka majelis menunjuk  hari dan tanggal  untuk melakukan mediasi dan kebiasaan persidangan Ketua  Majeli s  hakim  yang memimpin  persidangan menunjuk dan atau menyebutkan nama yang akan memimpin persidangan  ( Apabila pihak penggugat dapat mengusulkan nama yang akan memimpin persidangan ) ,  dan sidang  dilanjutkan pada persidangan berikutnya  (Max. 14 hari )sehingga  majelis hakim yang memimpin menunda persidangan setelah di lakukan Mediasi

             Catatan  :
                                   =   MEDIASI  =
               -  MEDIASI merupakan proses penyelesaian sengketa di pengadilan yang dilakukan melalui perundingan diantara pihak-pihak yang berperkara.
                  Perundingan itu dibantu oleh mediator yang berkedudukan dan berfungsi sebagai pihak ketiga yang netral. Mediator berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai alternatif penyelesaian sengketa yang sebaik-baiknya dan saling menguntungkan.

               -  Menurut pasal 13 PERMA, jika mediasi gagal, maka terhadap segala sesuatu yang terjadi       selama proses mediasi tersebut tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti. 

             .  Setelah dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan Prosedur Mediasi di Pengadilan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2 Tahun 2003, ternyata ditemukan beberapa permasalahan yang bersumber dari Peraturan Mahkamah Agung tersebut, sehingga Peraturan Mahkamah Agung No। 2 Tahun 2003 perlu direvisi dengan maksud untuk lebih mendayagunakan mediasi yang terkait dengan proses berperkara di Pengadilan। Perma No। 1 Tahun 2008 terbit setelah melalui sebuah kajian oleh tim yang dibentuk Mahkamah Agung। Salah satu lembaga yang intens mengikuti kajian mediasi ini adalah Indonesian Institute for Coflict Transformation (IICT)।

Perma Nomor 1 Tahun 2008 terdiri dari VIII Bab dan 27 pasal yang telah ditetapkan oleh Ketua Makamah Agung pada tanggal 31 Juli 2008। Perma No. 1 Tahun 2008 membawa beberapa perubahan penting, bahkan menimbulkan implikasi hukum jika tidak dijalani. Misalnya, memungkinan para pihak menempuh mediasi pada tingkat banding atau kasasi।

Sidang  ke 2  :  - Ketua  Majeli s  hakim  yang memimpin  persidangan melakukan upaya mendmaikan para pihak ;
                        : -  Ketua  Majeli s  hakim  yang memimpin  persidangan, meminta  Penggugat   untuk membacakan  gugatan  kepada  penggugat

Sidang  ke 3  :  Pembacaan  dan Penyerahan  EKsepsi  dari  Tergugat;

Sidang ke 4  :  Pembacaan  dan  Penyerahan  Replik  dari  Penggugat ;

Sidang ke 5  :  Pembacaan  dan  Penyerahan  Duplik  dari  Tergugat ;

Sidang ke 6  :  Penyerahan  Pembuktian  dari  Penggugat  dnn  Tergugat  ( kalau  ada   pihak  yaitu  Turut tergugat  juga  menyerahkan  Pembuktian )

Sidang ke 7  :   Menyiapkan  Saksi   dari  Penggugat,  atau  Tergugat  atau  dari pihak  Turut Tergugat ( kalau ada untuk Turut tergugat )
Sidang ke 8  :  Pembacaan  dan  Penyerahan  Kesimpulan  dari  Penggugat  atau  Tergugat  atau  dari pihak  Turut Tergugat ( kalau ada untuk Turut tergugat )
Sidang ke 9  :   PUTUSAN

Sumber copy paste dari
ludwichbernharhard.blogspot.co.id/2012/05/tata-urutan-persidangan-perkara-perdata.html?m=1

Talak atau Perceraian dalam Agama Islam

Islam dalam syarat-syarat tertentu memperbolehkan talak dan perceraian istri dan suami. Dan menganggapnya tindakan yang tidak disenangi dan dibenci. Dan dalam hadis-hadis hal itu dicela.

Imam Al-Shâdiq as berkata, “Allah mencintai rumah yang didalamnya terdapat pengantin dan membenci rumah yang di dalamnya terjadi talak (perceraian). Tidak ada sesuatu yang lebih dibenci oleh Allah selain talak.”[94]

Imam Al-Shâdiq as berkata, “Diantara pekerjaan-pekerjaan yang halal, tidak ada perbuatan yang lebih jelek dari pada talak, Allah membenci para lelaki yang banyak melakukan talak dan mengambil istri.”[95]

Beliau as juga berkata, “Ketika Nabi Saw. mendengar bahwa Abu Ayyub ingin mentalak istrinya, beliau Saw. Bersabda, “Talaknya Abu Ayyub adalah dosa.”[96]

Imam Muhammad Al-Bâqir asmeriwayatkan dari Rasulullah Saw. yang bersabda, “Malaikat Jibril berwasiat padaku tentang istri hingga aku mengira bahwa tidak boleh mentalaknya (menceraikannya) kecuali istri yang melakukan kekejian yang nyata.”[97]

Imam Al-Shâdiq as berkata, “Menikahlah kalian dan janganlah melakukan talak karena “Arsy Allah bergetar disebabkan talak.”[98]

Rasulullah Saw. bersabda, “Tidak ada sesuatu yang mubah yang lebih dicintai oleh Allah selain nikah, dan tidak ada sesuatu yang mubah yang lebih dibenci Allah selain talak.”[99]

Talak (perceraian) menurut perspektif Islam adalah pekerjaan yang sangat jelek dan buruk dimana sebisa mungkin dijauhkan karena ‘Arsy Allah bergoncang. Namun dengan beberapa alasan tidak diharamkan dan sangat dilarang. Untuk mencegah perceraian maka faktor-faktornya sangat diperangi yang sebagian dari itu akan dijelaskan:

1.    Selah satu faktor talak adalah kekecewaan suami terhadap istrinya yang sah dan mencintai serta mengharap perempuan asing. Salah satu faktor terpenting adalah para perempuan tidak memakai hijab atau berhijab jelek dan pandangan para pria. Di saat seorang laki-laki di gang atau jalanan melihat seorang perempuan yang lebih cantik dari istrinya dan lebih menarik, maka ada kemungkinan dia jatuh hati padanya dan kecewa terhadap istrinya. Ketika dia kembali ke rumahnya, dengan berbagai pertentangan dan dalih, dia membuat pahit kehidupan. Dan betapa banyak pada akhirnya terjerumus kepada talak (perceraian).

Islam guna mencegah terjadinya hal ini, dari satu sisi memerintahkan kepada para perempuan (istri) untuk menjaga hijabnya dan tidak meletakkan perhiasan-perhiasan dirinya dalam pandangan para lelaki asing dan supaya tidak merias dan mempesona kepada selain suaminya sendiri. Dari sisi lain Islam memerintahkan kepada para lelaki untuk tidak melihat kepada para perempuan selain muhrimnya dan menjauhkan dari gurauan dan kata-kata manis dengan mereka. Apabila matanya melihat perempuan bukan muhrimnya, maka hendaknya tidak melihat lagi dan langsung menahan pandangannya.

2.    Faktor kedua talak (perceraian) adalah kekecewaan istri dan suami satu sama lain dan tidak terpenuhinya naluri seksual mereka. Banyaknya perceraian dan penyimpangan diakibatkan karena istri atau suami tidak terpenuhi dengan baik dalam memperoleh keinginan dan pemuasan naluri seksual.

Islam untuk mencegah terjadinya hal ini, memerintahkan kepada para perempuan (istri) untuk memakai pakaiannya yang paling bagus di rumah. Sesuai keinginan suami, merias dirinya dan supaya dilihat olehnya. Islam juga memerintahkan kepada para suami untuk menjaga kebersihan dan memangkas rambutnya dan supaya hidup dan elok di rumah. Dari sisi lain Islam mengingatkan kepada istri dan suami di saat melakukan hubungan seksual dan melakukan kenikmatan, jangan hanya berpikir untuk memuaskan naluri seksual dan hasratnya sendiri saja, namun juga harus berfikir untuk memberikan hasrat dan memuaskan pihak yang lain.

3.    Faktor ketiga adalah perilaku dan akhlak yang jelek, pertentangan, dalih, percekcokan dan keras kepala istri atau suami. Statistik menjelaskan bahwa faktor terpenting kebanyakan perceraian adalah ketidakselarasan prilaku istri dan suami.

Islam guna mencegah hal ini dan mengokohkan fondasi keluarga, menentukan hak-hak dan tugas-tugas bagi setiap istri dan suami. Dan menginginkan mereka supaya melakukannya. Disamping itu Islam memerintahkan mereka supaya menjauhi diskriminasi, penindasan dan kekerasan dan supaya lapang dada dan pemaaf dan menyelesaikan perbedaan rasa mereka dengan akal dan bijaksana. Tugas-tugas akhlak istri dan suami dibahas dalam kitab-kitab akhlak yang sebagian telah dijelaskan.

4.    Faktor yang lain dimana Islam untuk menyelesaikan perbedaan-perbedaan istri dan suami dan mencegah talak (perceraian) yang diperkirakan adalah topik pembentukan badan pencegah yang terbentuk dari dua orang. Salah satunya adalah dari keluarga istri dan yang lain dari keluarga suami. Dua orang ini bisa dari keluarga istri dan suami atau dari orang luar. Al-Qur’an mengatakan, “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”[100]

Untuk perbaikan (keluarga) badan penengah mengadakan pertemuan dan mengajak istri dan suami untuk ikut serta menyelidiki pokok perselisihan. Mendengarkan dengan penuh seksama dan bijaksana terhadap perkataan-perkataan mereka. Mengambil kebenaran pada setiap pihak. Mengingatkan kepada yang lain dengan penuh persahabatan dan simpatik. Memberitahukan kepada setiap dari mereka akan tugasnya. Kemudian mengajak mereka untuk memaafkan, lapang dada dan menjaga tugas-tugas ibu rumah tangga dan berusaha dalam mengokohkan fondasi suci pernikahan. Dan mengingatkan akibat jelek perselisihan dan perceraian. Dengan cara ini mendamaikan mereka.

Disebutkan bahwa rekonsiliasi oleh para penengah Islam mempunyai perbedaan yang banyak dengan rekonsilasi yang dipaksa oleh hukum. Rekonsilasi hukum seperti rekonsilasi dua orang yang berselisih, yang diwajibkan supaya tidak menindas hak-hak satu sama lain. Namun rekonsilasi yang dipersiapkan oleh Islam dengan badan penengah bukan keharusan (kewajiban) hukum melainkan menghilangkan kotoran-kotoran hati dan mencabut sumber perselisihan dan berusaha untuk menciptakan saling pengertian dan mengokohkan hubungan keluarga dan semangat dengan kehidupan dan menciptakan hubungan istri dan suami menjadi biasa. Keistimewaan rekonsilasi ini dengan yang pertama tidak tertutup bagi siapapun. Namun apabila para penengah setelah mengkaji dan melakukan tindakan-tindakan yang lazim sampai kepada kesimpulan bahwa perbedaan-perbedaan antara istri dan suami sangat dalam dan api percintaan dan hubungan suami istri sudah sangat padam dan sama sekali tidak ada harapan untuk memperbaikinya kendatipun dengan perintah untuk memaafkan dan lapang dada, dalam keadaan seperti ini, mereka membiarkan istri dan suami dengan keadaannya sendiri sehingga satu sama lain bercerai, atau memerintahkan mereka supaya bercerai.

5.    Faktor kelima yang bisa mencegah perceraian atau menghambatnya adalah pembayaran mahar. Seorang suami jika dari dulu telah memberikan mahar istrinya, maka dia tidak berhak mengambilnya kembali. Dan jika suami tidak memberi, maka dia harus membayarnya secara keseluruhan di saat bercerai.

Al-Qur’an mengatakan, “Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang diantara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun.

Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?

Bagaimana kami akan mengambilnya kembali. Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri. Dan mereka (istri-sitrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.”[101]

Mahar adalah hak syar’i dan hak hukum seorang istri. Dia bisa memperolehnya dengan setiap cara yang bisa dilakukan. Dan apabila suami tidak memberikannya secara tunai, maka dia harus membayar maharnya di saat bercerai. Apabila mahar berbentuk property atau uang yang bisa dijaga, pada batas tertentu bisa mencegah melakukan perceraian terlebih pada mereka yang miskin atau yang sedikit hartanya.

6.    Salah satu faktor lainnya adalah perlindungan dan penjagaan anak-anak serta penyediaan biaya mereka yang merupakan tanggung jawab suami. Jika kondisi keluarga adalah biasa dan istri dan suami hidup bersama-sama, maka kebanyakan para istri yang mengambil tanggung jawab menjaga anak-anak. Sehingga para suami mempunyai kesempatan bekerja dan menyediakan biaya-biaya keluarga.

Namun jika mereka satu sama lain berpisah dengan perceraian (talak). Maka kepengurusan dan penjagaan anak-anak juga tanggung jawab suami dan mengumpulkan diantara dua tanggung jawab ini adalah sangat sulit. Disamping itu anak-anak memerlukan seorang ibu yang mana suami tidak mampu menggantikan peran yang mana suami tidak mampu menggantikan peran sang ibu. Oleh karena itu, apabila sang ayah berfikir dengan baik dan mengkaji ulang akibat jelek dan persoalan-persoalannya, maka mayoritas mereka berpaling dari tindakan perceraian. Oleh karena itu adanya anak dan tanggungjawab menjaganya juga bisa termasuk salah satu jaminan kelanggengan dan kokohnya fondasi keluarga dan penghalang perceraian.

7.    Faktor lainnya adalah hadirnya dua orang saksi yang adil. Islam mensyaratkan bahwa sahnya talak adalah kehadiran dua orang saksi yang adil di saat melawan shighah talak. Karena dalam sahnya talak (perceraian) disyaratkan pelaksanaan yang benar bentuk talak, yang tidak bisa dilakukan oleh setiap orang.

Dari sisi lain, saat pelaksanaan shighah talak dua orang saksi yang adil harus hadir sehingga mereka mendengar shighah talak dan bisa bersaksi saat diperlukan. Oleh karena adanya pelaksanaan shighah talak dan dua orang saksi adil adalah tidak mudah dan perlu berlalunya waktu, maka mencegah suami untuk bersegera melakukan talak.

Di sepanjang masa ini, ada kemungkinan suami terbuka akalnya, berkurang kemarahan-kemarahan dan sifat keras kepala, berfikir dengan baik akan akibat-akibat jelek perceraian dan permasalahan-permasalahan masa depannya yang bermacam-macam dan berpaling dari melakukan perceraian. Teman-teman dan para penasehat yang menginginkan kebaikan juga bisa membantunya dalam persoalan ini. Setelah adanya semua syarat-syarat, seorang alim pelaksana shighah akad dan dua orang saksi adil tidak langsung menceraikan tetapi mereka berusaha menyingkirkan pertikaian mereka dan mendamaikan mereka dan dalam hal yang perlu lagi-lagi mereka menunda talak, sehingga ada kesempatan yang lebih banyak untuk berfikir akibatnya dan berpaling dari talak.

Islam karena penentang talak, maka dengan segala jalan yang bisa dilakukan, berusah mencegah terjadinya talak.

8.    Setelah talak dengan semua syarat-syarat dan jenjang-jenjang yang dilewati terlaksana, lagi-lagi Islam tidak mengklaim pernikahan sudah berakhir tetapi menentukan masa yang disebut masa ‘Iddah[102].

Dan dalam talak raj’î, seorang suami diperbolehkan untuk rujuk (kembali) kepada istrinya yang dulu tanpa memerlukan mahar dan akad baru.

Islam begitu sangat mempedulikan keterjagaan dan kelanggengan pernikahan hingga setelah terjadinya talak dan dalam masa ‘Iddah pun memberi kesempatan kepada suami supaya berfikir dengan baik dan jika dia ingin menikah dengan istri yang dulu, dia bisa rujuk lagi.

FILOSOFI SYARIAT TALAK

Mungkin seseorang menyanggah dalam pokok (dasar) pensyariatan talak dengan mengatakan: Apabila talak benar-benar dibenci oleh pemberi syariat Islam (Allah) -sebagaimana yang dulu anda katakan- mengapa dia tidak mengharamkannya? Pada dasarnya, bagaimana kehalalan bisa berkumpul dengan kebencian? Mengapa Islam memperbolehkan talak? Dalam jawaban harus dikatakan: Pada satu saat talak adalah hal yang jelek dan dibenci, namun pada sebagian kondisi adalah suatu keharusan yang tidak bisa dicegah. Misalnya memotong anggota tubuh adalah sesuatu yang menyakitkan dan dibenci. Namun dalam sebagian situasi dan kondisi memotong anggota badan adalah keharusan dan untuk kemaslahatan manusia. Seperti halnya dalam kasus penyakit kanker seperti itu. Apabila melanjutkan ikatan pernikahan bagi istri dan suami memberatkan, menyakitkan dan tidak bisa ditanggung dan tidak ada jalan lain melainkan talak, maka talak adalah jalan (cara) terbaik penyelesaian. Sebagai contoh salah satu persoalan ini adalah ketika api asmara dan cinta sang suami secara umum telah padam dan sama sekali tidak mencintai istrinya. Dalam kasus seperti ini istri telah jatuh dari kedudukan cinta dan daya tariknya, dan fondasi keluarga telah hancur. Sebuah rumah tangga yang tidak ada cinta didalamnya adalah dingin, gelap dan menakutkan. Bukan hanya tempat yang tidak tenang bagi istri dan suami tetapi juga penjara, gelap bagai neraka jahannam.

Perkawinan adalah ikatan alamiah yang terikat antara suami dan istri, sangat berbeda dengan perjanjian-perjanjian sosial seperti jual beli, pegadaian, perdamaian dan kerja sama. Semua ini merupakan perjanjian-perjanjian yang hanya bersifat sosial dan anggapan belaka dimana alam dan naluri tidak ikut campur di dalamnya. Berbeda dengan pernikahan yang merupakan suatu ikatan alamiah dan mempunyai akar dalam kontek alam dan naluri kedua pasangan dan bersumber dari bentuk ketertarikan internal suami istri dan kecenderungan menyatu, berkaitan dan satu hati. Keterkaitan ini dengan dua bentuk yang berbeda dalam tabiat kedua pasangan. Dari pihak suami dengan bentuk cinta, rasa suka, keinginan dan memiliki pribadi istri. Dan dari pihak istri dengan bentuk pesona, daya tarik, menundukkan hati dan mengambil hatinya. Bangunan rumah tangga tegak atas dua fondasi ini. Dan apabila kedua pasangan sampai kepada keinginan internal dirinya, maka pusat rumah tangga menjadi hangat, tentram dan elok. Suami akan bersemangat dan penuh harapan terhadap keluarganya. Dan akan bersungguh-sungguh dan berkorban untuk menjamin kesejahteraan mereka. Dan istri akan menganggap dirinya sukses dan beruntung. Dan berusaha dengan berkorban sebagai istri, ibu rumah tangga dan pengasuh anak.

Namun apabila seorang suami tidak lagi mencintai istrinya yang sah dan bosan bertemu dan bergaul dengannya dan si istri juga merasakan bahwa dia sudah tidak dicintai dan suaminya tidak mencintainya. Dalam asumsi seperti ini, keluarga sudah kehilangan dua fondasi pokoknya dan sudah termasuk hancur. Kehidupan dalam keluarga yang dingin dan saling berpencar bagi istri dan suami adalah sangat sulit dan menyakitkan. Dan melanjutkan rumah tangga seperti ini sama sekali tidak baik bagi kedua pasangan. Dalam syarat-syarat seperti ini, Islam walaupun membenci talak, menganggapnya jalan keluar paling baik dan memperbolehkannya. Pensyariatan hukum talak untuk kasus-kasus seperti ini.

Permasalahan lain adalah tidak adanya keharmonisan akhlak (moral). Apabila istri dan suami tidak mempunyai keserasian moral, memiliki pemikiran ganda, keduanya angkuh dan keras kepala, siang malam percekcokan, pertengkaran, keduanya tidak mendengarkan nasehat dan petunjuk orang. Sama sekali tidak siap untuk memperbaiki dan membetulkan diri mereka. Kehidupan dalam rumah tangga seperti ini juga sangat sulit dan menyakitkan. Dan melanjutkan rumah tangga seperti ini tidak menguntungkan istri ataupun suami. Dalam kasus seperti ini juga, talak adalah jalan keluar terbaik. Dan Islam memperbolehkannya. Oleh karena itu, talak dalam sebagian kasus adalah suatu keharusan sosial dan jalan terbaik dan tidak bisa dicegah.

Mungkin seseorang berkata: Andaikan dalam kondisi darurat kita menerima pembolehan talak, namun hukum talak adalah mutlak (absolut). Dan mengizinkan kepada para suami yang plin-plan untuk menceraikan istrinya yang terzalimi dengan sedikit dalih bahwa dia menggunakan masa mudinya, daya kesehatan dan kesegaran dirinya di dalam rumah sang suami tanpa kesetiaan. Lalu suami mengeluarkannya dari sarang habitatnya. Dan setelah beberapa waktu, sang suami mengambil istri yang lain. Bukankah pembolehan talak semacam ini menzalimi istri? Dalam jawaban dikatakan: Islam juga sangat menentang sifat plin-plan dan tindakan-tindakan talak yang pengecut dan sangat melawan faktor-faktornya.

Dan Islam meletakkan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan untuk pelaksanaan talak dan menciptakan halangan-halangan yang sebisa mungkin mencegah terjadinya talak. Namun jika perempuan dengan alasan apapun sudah tidak dicintai dan dia dibenci oleh suami. Apa yang harus dilakukan dan apa jalan keluarnya? Istri merasakan bahwa dia bukan kekasih suaminya dan bukan ibu rumah tangga dan suami tidak menyukainya. Kejadian yang menyakitkan seperti ini merupakan hinaan terbesar dan penyiksaan terhadap istri. Apakah maslahat kita menjaga istri semacam ini di dalam rumah dengan paksaan hukum dan kita mencegahnya dari penceraian?

Dengan paksaan hukum, bisa menjaga istri di dalam rumah dan memaksa suami untuk membayar nafkah. Namun tidak bisa menciptakan kecintaan padanya yang merupakan dasar/fondasi kehidupan perkawinan. Disini juga Islam kendatipun membenci talak namun menganggapnya jalan penyelesaian terbaik dan memperbolehkannya.

Mungkin seseorang akan mengatakan: Jika talak di sebagian keadaan adalah suatu keharusan dan jalan penyelesaian terbaik suatu permasalahan, mengapa talak hanya dikhususkan kepada suami, sementara istri tidak diberikan hak talak? Karena kemungkinan seperti ini berkenaan dengan istri juga ada.

Mungkin sang istri tidak lagi mencintai suaminya dan dia sudah tidak suka untuk melanjutkan kehidupan perkawinan. Dalam kasus seperti ini juga bisa dikatakan. Karena kecintaan tidak ada, maka kehidupan rumah tangga praktis berakhir dan juga harus diberikan hak kepada istri untuk menceraikan suaminya dan mengumumkan berakhirnya perkawinan. Dalam jawaban dikatakan: Ketidakcintaan istri tidak bisa diartikan sebagai akhir kehidupan rumah tangga tetapi salah satu tanda keteledoran atau kelalaian sang suami. Dan kelalaiannya adalah dalam masalah melaksanakan tugas-tugas perkawinan dan sebagai suami. Karena kunci ikatan hati dan kecintaan istri dalam ikhtiar suami. Apabila suami betul-betul mencintai istrinya dan sangat perhatian padanya, maka dia akan melakukan tugas-tugas sebagai suami dengan baik, dan memperbaiki akhlak dan perilakunya. Istri juga kebanyakan akan menjadi semangat, penuh harapan dan penuh perhatian dan berusaha untuk menjaga hati suaminya dalam otoritasnya. Oleh karena itu, apabila istri tidak perhatian kepada kehidupan dan suaminya maka hal itu adalah keteledoran dan kelalaian suami.

Dalam bentuk seperti ini, maka talak bukan suatu keharusan tetapi harus memberitahukan kepada sang suami akan tugas-tugasnya dan skill beristri sehingga meninjau kembali prilaku, perkataan dan akhlaknya.

Mungkin akan dipertanyakan: Apabila sang suami memukul istrinya atau tidak memberikan nafkahnya dan menyulitkannya atau tidak melakukan hak tidur bersama atau menyakitinya atau memakinya sampai diapun tidak mau menceraikannya. Dalam kondisi seperti ini apa taklif (tugas) si istri? Apakah anda akan mengatakan padanya: Dia harus bersabar, tenang sampai menjelang ajal? Mengapa dalam kondisi seperti ini tidak diberikan hak talak kepada istri sehingga menyelamatkan dirinya dari penjara menyakitkan seperti ini? Dalam jawaban dikatakan, Islam dibangun atas pilar keadilan dan kebijaksanaan dan menjaga hak-hak para individu. Sama sekali tidak memperbolehkan dan tidak menekankan prilaku yang tidak pantas dan kezaliman suami terhadap istrinya bahkan sangat menentangnya dan membela hak-hak istri.

Istri dalam kondisi seperti ini merujuk kepada badan para penengah dan memohon kepada mereka supaya menasehati suaminya dan mengajaknya untuk menjaga keadilan kebijaksanaan dan melakukan tugasnya. Apabila mereka sukses dalam hal ini, maka dia (suami) melanjutkan kehidupannya dan jika suami menolak menerima hak istrinya, maka si istri memaparkan pengaduannya kepada penguasa syar’i Islam atau pengadilan keluarga. Penguasa syar’i Islam akan menghadirkan suami yang melanggar dan memintanya supaya menghentikan kezalimannya dan melakukan tugas-tugasnya. Apabila dia menerima, maka memaksanya untuk bercerai. Dan jika dia menolak, maka penguasa Islam itu sendiri yang menceraikan istri dan mengambil hak-hak istri dan suaminya.

94)   Wasail Al-Syiah juz 22 halaman 7
95)   Ibid halaman 8
96)   Ibid halaman 8
97)   Makârim Al-Akhlak: Juz 1 Halaman: 248
98)   Ibid: Halaman 225
99)   Mustadrah Al-Wasâil: Juz 15 Hal. 280
100)     Al-Nisâ’ (4): 35
101)   Al-Nisâ’ (4): 20-21
102)     ‘Iddah talak raj’î adalah masa (waktu) terjadinya talak sampai istri melihat 3 kali kebiasaan bulannya (menstruasi).

Sumber copy paste dari www.ibrahimamini.com/id/node/2136

Talak dan Gugat Cerai Dalam Islam lengkap dengan definisi dan dasar hukumnya

DEFINISI CERAI TALAK

Dalam syariah cerai atau talak adalah melepaskan ikatan perkawinan (Arab, اسم لحل قيد النكاح) atau putusnya hubungan perkawinan antara suami dan istri dalam waktu tertentu atau selamanya.

DALIL DASAR HUKUM PERCERAIAN TALAK

- QS Al-Baqarah 2:229
الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْزَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئاً إِلاّض أَنْ يَخَافَا أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Artinya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.

- QS At-Talaq 65:1-7
أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاء فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لاَ تُخْرِجُوهُنَّ مِن بُيُوتِهِنَّ وَلا يَخْرُجْنَ إِلاَّ أَن يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لاَ تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْرًا*

فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِّنكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ ذَلِكُمْ يُوعَظُ بِهِ مَن كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا*

وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا*

وَاللاَّئِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِن نِّسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللاَّئِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُوْلاتُ الأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا*

ذَلِكَ أَمْرُ اللَّهِ أَنزَلَهُ إِلَيْكُمْ وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يُكَفِّرْ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِ وَيُعْظِمْ لَهُ أَجْرًا*

أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنتُم مِّن وُجْدِكُمْ وَلاَ تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِن كُنَّ أُولاَتِ حَمْلٍ فَأَنفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُم بِمَعْرُوفٍ وَإِن تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى*

لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلاَّ مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا

Artinya: Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.(ayat 1)

Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.(ayat 2)

Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.(ayat 3)

Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. (ayat 4)

Itulah perintah Allah yang diturunkan-Nya kepada kamu, dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipat gandakan pahala baginya. (ayat 5)

Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.(ayat 6)

Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.(ayat 7)

SHIGHAT (UCAPAN) CERAI TALAK ADA DUA

Ditinjau dari segi shighat, lafadz, ucapan cerai talak dari seorang suami pada istri, talak ada dua macam yaitu talak sharih (langsung, jelas, eksplisit) dan talak kinayah (tidak langsung, sindiran, implisit). Kedua shighat talak ini memiliki hukum tersendiri dalam soal terjadinya talak atau tidak.

TALAK SHARIH (LANGSUNG)

Talak sharih adalah ucapan talak secara jelas dan eksplist yang apabila diucapan pada istri maka jatuhlah talak/perceraian walaupun suami tidak berniat untuk cerai. Lafadz talak sharih ada 3 (tiga) yaitu:
(a) Talak atau cerai. Seperti kata suami pada istri: "Aku menceraikanmu." atau "Kamu dicerai", dsb.
(b) Pisah (mufaraqah)
(c) Sarah (pisah)

TALAK KINAYAH(TIDAK LANGSUNG, IMPLISIT)

Yaitu kata yang mengandung nuansa atau makna percraian tapi tidak secara langsung. Seperti kata suami pada istri "Pulanglah pada orang tuamu!"

Termasuk talak kinayah adalah talak sharih tapi dibuat secara tertulis atau melalui SMS (short text message).

HUKUM CERAI/TALAK
Hukum talak/perceraian itu beragam: bisa wajib, sunnah, makruh, haram, mubah. Rinciannya sbb:

TALAK ITU WAJIB APABILA:

a) Jika suami isteri tidak dapat didamaikan lagi
b) Dua orang wakil daripada pihak suami dan isteri gagal membuat kata sepakat untuk perdamaian rumahtangga mereka
c) Apabila pihak pengadilan berpendapat bahawa talak adalah lebih baik

Jika tidak diceraikan dalam keadaan demikian, maka berdosalah suami

PERCERAIAN ITU HARAM APABILA:

a) Menceraikan isteri ketika sedang haid atau nifas
b) Ketika keadaan suci yang telah disetubuhi
c) Ketika suami sedang sakit yang bertujuan menghalang isterinya daripada menuntut harta pusakanya
d) Menceraikan isterinya dengan talak tiga sekaligus atau talak satu tetapi disebut berulang kali sehingga cukup tiga kali atau lebih

PERCERAIAN ITU HUKUMNYA SUNNAH APABILA:

a) Suami tidak mampu menanggung nafkah isterinya
b) Isterinya tidak menjaga martabat dirinya

CERAI HUKUMNYA MAKRUH APABILA:

Suami menjatuhkan talak kepada isterinya yang baik, berakhlak mulia dan mempunyai pengetahuan agama

CERAI HUKUMNYA MUBAH APABILA

Suami lemah keinginan nafsunya atau isterinya belum datang haid atau telah putus haidnya

RUKUN PERCERAIAN/ TALAK
Ada 2 faktor dalam perceraian yaitu suami dan istri. Masing-masing ada syarat sahnya perceraian.

Rukun Talak bagi Suami

- Berakal sehat
- Baligh
- Dengan kemauan sendiri

Rukun Talak bagi Isteri

- Akad nikah sah
- Belum diceraikan dengan talak tiga oleh suaminya

Lafadz/teks talak:

- Ucapan yang jelas menyatakan penceraiannya
- Dengan sengaja dan bukan paksaaan

JENIS PERCERAIAN ADA 2 (DUA)

Ditinjau dari pelaku perceraian, maka perceraian itu ada dua macam yaitu (a) cerai talak oleh suami kepada istri dan (b) gugat cerai oleh istri kepada suami.

A. CERAI TALAK OLEH SUAMI

Yaitu perceraian yang dilakukan oleh suami kepada istri. Ini adalah perceraian/talak yang paling umum. Status perceraian tipe ini terjadi tanpa harus menunggu keputusan pengadilan. Begitu suami mengatakan kata-kata talak pada istrinya, maka talak itu sudah jatuh dan terjadi. Keputusan Pengadilan Agama hanyalah formalitas.

Talak atau gugat cerai yang dilakukan oleh suami terdiri dari 4 (empat) macam sbb:

Talak raj’i

Yaitu perceraian di mana suami mengucapkan (melafazkan) talak satu atau talak dua kepada isterinya. Suami boleh rujuk kembali ke isterinya ketika masih dalam iddah. Jika waktu iddah telah habis, maka suami tidak dibenarkan merujuk melainkan dengan akad nikah baru.

Talak bain

Yaitu perceraian di mana suami mengucapkan talak tiga atau melafazkan talak yang ketiga kepada isterinya. Isterinya tidak boleh dirujuk kembali. Si suami hanya boleh merujuk setelah isterinya menikah dengan lelaki lain, suami barunya menyetubuhinya, setelah diceraikan suami barunya dan telah habis iddah dengan suami barunya.

Talak sunni

Yaitu perceraian di mana suami mengucapkan cerai talak kepada isterinya yang masih suci dan belum disetubuhinya ketika dalam keadaan suci

Talak bid’i

Suami mengucapkan talak kepada isterinya ketika dalam keadaan haid atau ketikasuci tapi sudah disetubuhi (berhubungan intim).

Talak taklik

Talak taklik ialah suami menceraikan isterinya secara bersyarat dengan sesuatu sebab atau syarat. Apabila syarat atau sebab itu dilakukan atau berlaku, maka terjadilah penceraian atau talak.

TAKLIK TALAK

Taklik talak atau talak taklik dibagi ke dalam dua macam, yaitu taklik qasami dan taklik syarthi.

TAKLIK TALAK ADA 2 MACAM

Taklik qasami

Taklik qasami adalah taklik yang dimaksudkan seperti janji karena mengandung pengertian melakukan pekerjaan atau meninggalkan suatu perbuatan atau menguatkan suatu kabar.

Taklik Syarthi

Taklik Syarthi yaitu taklik yang dimaksudkan untuk menjatuhkan talak jika telah terpenuhi syaratnya. Syarat sah taklik yang dimaksud tersebut ialah perkaranya belum ada, tetapi mungkin terjadi di kemudian hari, hendaknya istri ketika lahirnya akad talak dapat dijatuhi talak dan ketika terjadinya perkara yang ditaklikkan istri berada dalam pemeliharaan suami.

ISI SIGHAT TAKLIK TALAK

Bunyi redaksi atau sighat taklik taklak yang diucapkan pengantin pria setelah ijab kabul di KUA dan termuat dalam buku Akta Nikah adalah sbb:

SIGHAT TAKLIK TALAK

بسم الله الرحمن الرحيم

Sesudah akad nikah saya (nama_mempelai_pria) bin (nama_ayah_mempelai_pria) berjanji dengan sepenuh hati, bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami, dan akan saya pergauli istri saya bernama (nama_mempelai_wanita) binti (nama_ayah_mempelai wanita) dengan baik (mu'asyarah bilma'ruf) manurut ajaran syari'at islam.

Selanjutnya saya membaca sighat taklik atas istri saya sebagai berikut :
Sewaktu-waktu saya :

1. Meninggalkan istri saya dua tahun berturut-turut,
2. Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya,
3. Atau saya menyakiti badan/jasmani istri saya,
4. Atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya enam bulan lamanya,

Kemudian istri saya tidak ridha dan mengadukan halnya kepada pengadilan agama dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh pengadilan tersebut, sebagai iwadh (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya.

Kepada Pengadilan tersebut saya kuasakan untuk menerima uang iwadh itu dan kemudian menyerahkan kepada Direktorat Jendral Bimas Islam dan Penyelengara Haji Cq. Direktorat Urusan Agama Islam untuk keperluan ibadah sosial.

Suami

HUKUM UCAPAN TAKLIK TALAK

Mengucapkan talklik talak oleh pengantin pria sesaat setelah ijab kabul hukumnya tidak wajib. Boleh dilakukan dan boleh ditinggalkan. Berdasarkan pada

(a) Fatwa MUI pada 23 Rabi'ul Akhir 1417 H/ 7 September 1996 yang menyatakan bahwa:

Pengucapan sighat ta'liq talaq, yang menurut sejarahnya untuk melindungi hak-hak wanita ( isteri ) yang ketika itu belum ada peraturan perundang-undangan tentang hal tersebut, sekarang ini pengucapan sighat ta'liq talaq tidak diperlukan lagi. Untuk pembinaan ke arah pembentukan keluarga bahagia sudah di bentuk BP4 dari
tingkat pusat sampai dengan tingkat kecamatan.

(b) KHI Kompilasi Hukum Islam pasal 46 ayat (3)

Perjanjian taklik talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada
setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak
dapat dicabut kembali.

B. GUGAT CERAI OLEH ISTRI

Yaitu perceraian yang dilakukan oleh istri kepada suami. Cerai model ini dilakukan dengan cara mengajukan permintaan perceraian kepada Pengadilan Agama. Dan perceraian tidak dapat terjadi sebelum Pengadilan Agama memutuskan secara resmi.

Ada dua istilah yang dipergunakan pada kasus gugat cerai oleh istri, yaitu fasakh dan khulu’:

1. Fasakh

Fasakh adalah pengajuan cerai oleh istri tanpa adanya kompensasi yang diberikan istri kepada suami, dalam kondisi di mana:

- Suami tidak memberikan nafkah lahir dan batin selama enam bulan berturut-turut;
- Suami meninggalkan istrinya selama empat tahun berturut-turut tanpa ada kabar berita (meskipun terdapat kontroversi tentang batas waktunya);
- uami tidak melunasi mahar (mas kawin) yang telah disebutkan dalam akad nikah, baik sebagian ataupun seluruhnya (sebelum terjadinya hubungan suamii istri); atau
- adanya perlakuan buruk oleh suami seperti penganiayaan, penghinaan, dan tindakan-tindakan lain yang membahayakan keselamatan dan keamanan istri.

Jika gugatan tersebut dikabulkan oleh Hakim berdasarkan bukti-bukti dari pihak istri, maka Hakim berhak memutuskan (tafriq) hubungan perkawinan antara keduanya.

2. Khulu’

Khulu’ adalah kesepakatan penceraian antara suami istri atas permintaan istri dengan imbalan sejumlah uang (harta) yang diserahkan kepada suami. Khulu' disebut dalam QS Al-Baqarah 2:229

APA ITU TALAK BA'IN SHUGHRA

Efek Hukum dari gugat cerai oleh istri baik Fasakh maupun Khulu’ adalah talak ba'in shughra (talak ba'in kecil).

Efek hukum yang ditimbulkan oleh fasakh dan khulu’ adalah talak ba'in sughra, yaitu hilangnya hak rujuk pada suami selama masa ‘iddah. Artinya, apabila lelaki tersebut ingin kembali kepada mantan istrinya maka ia diharuskan melamar dan menikah kembali dengan perempuan tersebut. Sementara itu, istri wajib menunggu sampai masa ‘iddahnya berakhir apabila ingin menikah dengan laki-laki yang lain.

IDDAH MASA TUNGGU

Iddah adalah masa tunggu bagi istri yang dicerai talak oleh suami atau karena gugat cerai oleh istri. Dalam masa iddah, seorang perempuan yang dicerai tidak boleh menikah dengan dengan siapapun sampai masa iddahnya habis atau selesai. Bagi istri yang ditalak raj'i (talak satu atau talak dua) maka suami boleh kembali ke istri (rujuk) selama masa iddah tanpa harus ada akad nikah baru. Sedangkan apabila suami ingin rujuk setelah masa iddah habis, maka harus ada akad nikah yang baru.

Rincian masa iddah sbb:

1. Perempuan yang ditinggal mati suaminya, maka iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari, baik sang isteri sudah dicampuri (hubungan intim) atau belum (QS Al-Baqarah 2:234).
2. Istri yang dicerai saat sedang hamil, maka masa iddahnya sampai melahirkan (QS At-Talaq 65:4).
3. Istri yang ditalak tidak dalam keadaan hamil dan masih haid secara normal, maka masa iddahnya tiga kali masa suci atau quru'(QS Al-Baqarah 2:228) dengan rincian sebagai berikut:

a. Apabila talak terjadi saat haid, maka awal iddah dihitung dari masa suci yang terjadi setelah haid.

b. Apabila talak terjadi saat suci, maka dirinci:
b.a.-- Apabila masih ada sedikit masa suci lalu haid, maka masa sedikit itu dianggap qur'
b.a.a -- Apabila setelah talak tidak ada sedikitpun masa suci dalam arti akhir kalimat talak bersamaan dengan akhir masa suci,
b.a.b -- Atau apabila suami berkata pada istrinya, "Kamu ditalak di akhir masa sucimu" -> maka dalam kasus terakhir awal quru'-nya adalah masa suci yang jatuh setelah haid.

c. Istri yang tidak haid yang biasa seperti anak kecil atau wanita menopause, maka iddahnya tiga bulan berdasarkan QS At-Talaq :4

d. Istri yang tidak haid karena sebab yang tidak biasa seperti wanita tidak haid pada usia yang umumnya haid, maka iddahnya juga tiga bulan berdasarkan QS At-Talaq :4

e. Masa iddah dengan quru' palig sedikitnya adalah 32 hari dan sesaat. Ini terjadi apabila istri dicerai di masa suci sesaat kemudian dia haid, maka masa suci sesaat itu dihitung satu quru'. Lalu dia haid sehari lalu suci 15 hari ini dihitung quru' kedua. Lalu haid sehari dan haid 15 hari ini dihitung quru' ketiga yang berakhir saat haid yang ketiga. (Lihat Al-Sairozi, "Kitab Al-Talaq", Al-Muhadzab hlm. 3/118)

4. Jika wanita yang dijatuhi talak itu masih kecil, belum mengeluarkan darah haid atau sudah lanjut usia yang sudah manopause (berhenti masa haid), maka iddahnya adalah tiga bulan (At-Thalaq 65:4).

5. Wanita yang pernikahannya fasakh/dibatalkan , maka iddahnya sama dengan iddah talak. (Lihat, Ibnu Muflih dalam Al-Mughni hlm. 9/77 mengutip pendapat Imam Syafi'i)

6. Iddahnya perempuan yang di-khuluk sama dengan wanita yang ditalak biasa (Lihat, Ibnu Muflih dalam Al-Mughni hlm. 9/77 mengutip pendapat Imam Syafi'i)

6. Wanita yang dicerai-talak sebelum ada hubungan intim, maka tidak ada masa iddah.

BEDA TALAK RAJ'I, TALAK BA'IN SUGHRA, TALAK 3 (TIGA) BA'IN KUBRO

Dari seluruh uraian seputar talak/perceraian di atas dapat disimpulkan bahwa talak ada 3 macam yaitu talak raj'i, talak ba'in sughra (kecil) dan talak ba'in kubra atau talak 3 (tiga). Perbedaan ketiganya adalah sbb:

Talak Raj'i (Rujuk)

Adalah cerai talak oleh suami dengan level talak 1 (satu) dan talak 2 (dua). Dengan status talak raj'i, maka suami boleh rujuk atau kembali pada istri yang dicerainya selama masa iddah tanpa harus akad nikah baru. Namun apabila keinginan rujuk tersebut setelah masa iddah habis, maka harus diadakan akad nikah baru.

Talak Ba'in Sughra (Kecil)

Talak Ba'in Sughra adalah perceraian yang disebabkan oleh gugat cerai oleh istri baik dengan cara fasakh atau khuluk. Dalam kondisi ini, maka (a) suami tidak boleh rujuk pada istri selama masa iddah; dan (b) suami boleh kembali ke istri setelah masa iddah habis dengan akad nikah yang baru.

Talak 3 (Tiga) atau Talak Ba'in Kubro

Talak 3 (Tiga) atau Talak Ba'in saja adalah perceraian di mana suami sama sekali tidak boleh rujuk atau kembali pada istrinya walaupun masa iddah sudah habis kecuali setelah istri menikah dengan laki-laki lain dan beberapa saat (bulan/tahun) kemudian pria kedua tersebut menceraikannya.

TALAK BAIN SUGHRO KUBRO DAN AKIBAT HUKUMNYA

Talak bain sughro dan talak bain kubro mempunyai dampak hukum yang berbeda. Baca detailnya di bawah:

TALAK BAIN SUGHRO

Talak bain sughro terjadi dalam beberapa kondisi sebagai berikut:

1. Talak terjadi sebelum adanya hubungan intim (dukhul, jimak) antara suami istri.
Perempuan yang dicerai sebelum terjadinya jimak maka tidak ada iddah baginya, sedangkan rujuk itu terjadi di masa iddah, oleh karena itu talak jenis ini disebut talak bain sughro.

2. Habisnya masa iddah pada talak satu atau dua.
Apabila suami menceraikan istrinya dan rujuk di masa iddah maka disebut talak raj'i. Sedangkan apabila iddah sudah habis tanpa ada rujuk maka statusnya menjadi talak bain sughro.

3. Talak khuluk. Apabila istri melakukan gugat cerai dengan cara khuluk yakni dengan membayar suami agar dicerai, maka menjadi talak bain sughro.

4. Perceraian yang dilakukan oleh hakim atas permintaan istri karena sebab tertentu seperti hilangnya suami atau adanya aib, maka talaknya disebut talak bain sughro.

AKIBAT HUKUM DARI TALAK BAIN SUGHRO

Akibat hukum dari talak bain sughro, (a) suami boleh kembali pada istri tapi dengan syarat harus ada akad nikah baru dan mahar baru; (b) istri boleh menikah dengan pria lain.

TALAK BAIN KUBRO (TALAK TIGA)

Talak bain kubro atau talak tiga terjadi dalam tiga keadaan:

1. Suami menceraikan istrinya sebanyak tiga kali secara akumulatif.
Misalnya, bulan Januari 2015 suami menceraikan istri dengan talak 1. Bulan Juni 2015 suami menceraikan lagi istrinya dengan talak 1. Total menjadi talak 2. Pada Februari 2016 suami menceraikan istrinya dengan talak 1, maka total menjadi talak 3 atau talak bain kubro.

2. Suami menyatakan talak 3 sebanyak tiga kali dalam waktu singkat. Contoh, suami berkata pada istrinya: "Kamu saya talak, kamu saya talak, kamu saya talak."

3. Suami menyatakan talak 3 dalam satu kali ucapan. Contoh, suami berkata pada istrinya, "Kamu saya talak 3."

Catatan: Kasus dalam poin 2 dan 3 masih menjadi perbedaan ulama. Sebagian ulama menyatakan hanya terjadi talak 1, sebagian yang lain terjadi talak 3. Baca detail: Talak 3 Sekaligus Jatuh Talak Berapa?

AKIBAT HUKUM DARI TALAK BAIN KUBRO

Akibat hukum dari talak bain kubro atau talak 3 adalah suami tidak boleh rujuk ke istrinya kecuali setelah istrinya menikah dengan pria lain. Berdasarkan QS Al-Baqarah 2:230

فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِن بَعْدُ حَتَّىٰ تَنكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ ۗ فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَن يَتَرَاجَعَا

Artinya: Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali.

PROSEDUR PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA

Ada beberapa tahapan dalam melakukan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama baik menyangkut cerai talak oleh suami atau cerai gugat oleh istri sbb:

PROSES CERAI TALAK OLEH SUAMI DI PENGADILAN AGAMA

Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon (Suami) atau Kuasanya:
1. a. Mengajukan permohonan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah (Pasal 118 HIR, 142 R.Bg jo Pasal 66 UU No. 7 Tahun 1989);
b. Pemohon dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah tentang tata cara membuat surat permohonan (Pasal 119 HIR, 143 R.Bg jo. Pasal 58 UU No. 7 Tahun 1989);
c. Surat permohonan dapat dirub`h sepanjang tidak merubah posita dan petitum. Jika Termohon telah menjawab surat permohonan ternyata ada perubahan, maka perubahan tersebut harus atas persetujuan Termohon.
2. Permohonan tersebut diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah :
a. Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Termohon (Pasal 66 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989);
b. Bila Termohon meninggalkan tempat kediaman yang telah disepakati bersama tanpa izin Pemohon, maka permohonan harus diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Pemohon (Pasal 66 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989);
c. Bila Termohon berkediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Pemohon (Pasal 66 ayat (3) UU No. 7 Tahun 1989);
d. Bila Pemohon dan Termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah yang daerah hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya perkawinan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat (Pasal 66 ayat (4) UU No. 7 Tahun 1989).
3. Permohonan tersebut memuat :
a. Nama, umur, pekerjaan, agama dan tempat kediaman Pemohon dan Termohon;
b. Posita (fakta kejadian dan fakta hukum);
c. Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita).
4. Permohonan soal penguasan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak atau sesudah ikrar talak diucapkan (Pasal 66 ayat (5) UU No. 7 Tahun 1989).
5. Membayar biaya perkara (Pasal 121 ayat (4) HIR, 145 ayat (4) R.Bg. Jo Pasal 89 UU No. 7 Tahun 1989), bagi yang tidak mampu dapat berperkara secara cuma-cuma (prodeo) (Pasal 237 HIR, 273 R.Bg).
6. Penggugat dan Tergugat atau kuasanya menghadiri persidangan berdasarkan panggilan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah (Pasal 121, 124, dan 125 HIR, 145 R.Bg).

Proses Penyelesaian Perkara
1. Pemohon mendaftarkan permohonan cerai talak ke Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah.
2. Pemohon dan Termohon dipanggil oleh Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah untuk menghadiri persidangan.
3. Tahapan persidangan :
a. Pada pemeriksaan sidang pertama, hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak, dan suami istri harus datang secara pribadi (Pasal 82 UU No. 7 Tahun 1989);
b. Apabila tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kepada kedua belah pihak agar lebih dahulu menempuh mediasi (Pasal 3 ayat (1) PERMA No. 2 Tahun 2003);
c. Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat permohonan, jawaban, jawab menjawab, pembuktian dan kesimpulan. Dalam tahap jawab menjawab (sebelum pembuktian) Termohon dapat mengajukan gugatan rekonvensi (gugat balik) (Pasal 132 a HIR, 158 R.Bg);
Putusan Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah atas permohonan cerai talak sebagai berikut :
a. Permohonan dikabulkan. Apabila Termohon tidak puas dapat mengajukan banding melalui Pengadilan Agama/Mahkamah Syarhah tersebut;
b. Permohonan ditolak. Pemohon dapat mengajukan banding melalui Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah tersebut;
c. Permohonan tidak diterima. Pemohon dapat mengajukan permohonan baru.
4. Apabila permohonan dikabulkan dan putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka :
a. Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak;
b. Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah memanggil Pemohon dan Termohon untuk melaksanakan ikrar talak;
c. Jika dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan sidang penyaksian ikrar talak, suami atau kuasanya tidak melaksanakan ikrar talak didepan sidang, maka gugurlah kekuatan hukum penetapan tersebut dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan hukum yang sama (Pasal 70 ayat (6) UU No. 7 Tahun 1989).
5. Setelah ikrar talak diucapkan panitera berkewajiban memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti kepada kedua belah pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah penetapan ikrar talak (Pasal 84 ayat (4) UU No. 7 Tahun 1989);

PROSES GUGAT CERAI OLEH ISTRI DI PENGADILAN AGAMA

Langkah-langkah yang harus dilakukan Penggugat (Istri) atau kuasanya :
1. a. Mengajukan gugatan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah (Pasal 118 HIR, 142 R.Bg jo Pasal 73 UU No. 7 Tahun 1989);
b. Penggugat dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iah tentang tata cara membuat surat gugatan (Pasal 118 HIR, 142 R.Bg jo. Pasal 58 UU No. 7 Tahun 1989);
c. Surat gugatan dapat dirubah sepanjang tidak merubah posita dan petitum. Jika Tergugat telah menjawab surat gugatan ternyata ada perubahan, maka perubahan tersebut harus atas persetujuan Tergugat.
2. a. Gugatan tersebut diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah;
b. Bila Penggugat meninggalkan tempat kediaman yang telah disepakati bersama tanpa izin Tergugat, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat (Pasal 73 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 jo Pasal 32 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974);
c. Bila Penggugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat (Pasal 73 ayat (2) UU No.7 Tahun 1989);
d. Bila Penggugat dan Tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’aah yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat (Pasal 73 ayat (3) UU No.7 Tahun 1989).
3. Permohonan tersebut memuat :
a. Nama, umur, pekerjaan, agama dan tempat kediaman Pemohon dan Termohon;
b. Posita (fakta kejadian dan fakta hukum);
c. Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita).
4. Gugatan soal penguasan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian atau sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 86 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989).
5. Membayar biaya perkara (Pasal 121 ayat (4) HIR, 145 ayat (4) R.Bg. Jo Pasal 89 UU No. 7 Tahun 1989), bagi yang tidak mampu dapat berperkara secara cuma-cuma (prodeo) (Pasal 237 HIR, 273 R.Bg).
6. Penggugat dan Tergugat atau kuasanya menghadiri persidangan berdasarkan panggilan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah (Pasal 121, 124, dan 125 HIR, 145 R.Bg).

Proses Penyelesaian Perkara
1. Penggugat mendaftarkan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah
2. Penggugat dan Tergugat dipanggil oleh pengadilan agama/mahkamah syar’iah untuk menghadiri persidangan
3. Tahapan persidangan :
a. Pada pemeriksaan sidang pertama, hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak, dan suami istri harus datang secara pribadi (Pasal 82 UU No. 7 Tahun 1989);
b. Apabila tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kepada kedua belah pihak agar lebih dahulu menempuh mediasi (Pasal 3 ayat (1) PERMA No. 2 Tahun 2003);
c. Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat permohonan, jawaban, jawab menjawab, pembuktian dan kesimpulan. Dalam tahap jawab menjawab (sebelum pembuktian) Termohon dapat mengajukan gugatan rekonvensi (gugat balik) (Pasal 132 a HIR, 158 R.Bg);
Putusan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah atas permohonan cerai gugat sebagai berikut :
a. Gugatan dikabulkan. Apabila Tergugat tidak puas dapat mengajukan banding melalui Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iah tersebut;
b. Gugatan ditolak. Penggugat dapat mengajukan banding melalui Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iah tersebut;
c. Gugatan tidak diterima. Penggugat dapat mengajukan gugatan baru.
4. Setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap maka panitera Pengadilan agama/mahkamah syar’iah memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti cerai kepada kedua belah pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah putusan tersebut diberitahukan kepada para pihak.

CARA SUAMI RUJUK

Selama masa iddah belum habis, suami boleh rujuk pada istri yang ditalak raj'i (selain talak 3) kapan saja. Cara rujuk sbb:

a. Rujuk dapat dilakukan dengan mengatakan pada istri "Aku rujuk". Atau berkata pada orang lain "Aku rujuk pada istriku" atau "Aku kembali ke istriku.

b. Rujuknya juga dianggap sah dengan perbuatan. Seperti melakukan hubungan intim dengan diniati rujuk.

RUJUK DAN TALAK DENGAN DUA SAKSI

a. Sunnah hukumnya menghadirkan dua saksi saat melakukan talak atau rujuk.
b. Tapi sah hukum talak dan rujuk tanpa ada saksi
c. Rujuknya suami tidak memerlukan adanya wali, atau mahar, atau kerelaan istri atau atas sepengetahuan istri. Rujuk tetap sah walaupun istri tidak tahu atas hal itu.

TALAK YANG TIDAK TERJADI ATAU TIDAK SAH

Perkataan 'talak', 'pisah', atau 'cerai' tidak terjadi atau tidak sah apabla diucapkan dalam kondisi dan situasi berikut:

1. Diucapkan dalam kalimat yang bermakna masa yang akan datagn (future tense, zaman mustaqbal)

Talak dalam Future Tense (Masa akan datang) Tidak Terjadi

Kalimat talak atau cerai yang menunjukkan waktu masa depan (Inggris: future tense; Arab: mustaqbal) itu tidak dianggap talak sharih (eksplisit) tapi dianggap talak kinayah (implisit) karena dalam konteks ini ia seperti janji talak. Karena itu ia membutuhkan niat agar talak terjadi dan sah. Syarwani dalam Hasyiyah Syarwani atas kitab Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj menyatakan:
لو قال لزوجته تكون طالقاً هل تطلق أو لا؟ لاحتمال هذا اللفظ الحال والاستقبال، وهل هو صريح، أو كناية؟ والظاهر أنه كناية، فإن أراد به وقوع الطلاق في الحال طلقت، أو التعليق احتاج إلى ذكر المعلق عليه، وإلا فهو وعد لا يقع به شيء

Artinya: Apabila suami berkata pada istrinya "Kamu akan menjadi istri yang tertalak" apakah jatuh talak atau tidak? Karena kata ini mengandung kemungkinan zaman hal (masa sekarang) atau istiqbal (masa akan datang). Secara zahir, ini talak kinayah. Apabila suami ingin menjatuhkan talak saat ini juga dengan kalimat itu maka terjadi talak; apabila bermaksud taklik (talak kondisional), maka suami harus menyebut muallaq alaih (yang dijadikan kondisi / syarat). Apabila tidak, maka kalimat ini adalah janji yang tidak terjadi apa-apa.

2. Talak yang diucapkan dalam kalimat tanya hukumnya tidak sah alias tidak terjadi

Al-Khatib As-Syarbini dalam Mughnil Muhtaj ila Makrifati Alfadz al-Minhaj 3/302 menyatakan
ولو قال أنت طالق أو لا أو أنت طالق واحدة أو لا بإسكان الواو فيهما لم يقع به شيء لأنه استفهام لا إيقاع فكان كقوله هل أنت طالق إلا أن يريد بقوله أنت طالق إنشاء الطلاق فتطلق ولا يؤثر قوله بعده أو لا

Artinya: Apabila suami berkata pada istrinya: "Kamu tertalak atau tidak?" atau "Kamu tertalak satu atau tidak?" maka talak tidak terjadi karena itu kalimat tanya bukan penjatuhan talak. Kalimat tersebut sama dengan kalimat (suami pada istri): "Apakah kamu perempuan yang tertalak?" Namun demikian, apabila dengan kata-kata tersebut suami (yakni kalimat "Kamu tertalak atau tidak?") ada niat untuk mentalak istrinya, maka talak terjadi.

3. Bercerita tentang talak tidak berakibat jatuh talak. Misalnya, suami bercerita pada istrinya bahwa tetangga sebelah ditalak oleh suaminya.

Zakariya Al-Anshari dalam kitab Al-Ghurar Al-Bahiyyah fi Al-Bahjah Al-Wardiyyah IV/246 menyatakan:
قوله: وقصد. أي قصد لفظه لمعناه أي قصد لفظه ومعناه؛ إذ المعتبر قصدهما ليخرج حكاية طلاق الغير، وتصوير الفقيه، والنداء بطالق لمن اسمها طالق

Artinya: ... yang dianggap (dalam talak) adalah kesengajaan dalam kata dan makna. Tidak termasuk dari talak adalah bercerita tentang talak orang lain, dan penjelasan talak seorang ahli fiqih, dan panggilan dengan kata "Taliq" (orang yang dicerai) bagi wanita yang kebetulan bernama Taliq.

3. Apabila suami menceraikan istrinya dengan talak 1, lalu setelah habis masa iddahnya, suami mentalak yang kedua kalinya (tanpa adanya rujuk atau akad baru), maka itu tidak terjadi talak. Hal ini disebabkan tidak adanya hubungan suami-istri sama sekali.

4. Kalimat talak dengan memakai kalimat perintah tidak terjadi talak. Ibnu Abil Fath dalam Al-Matlak ala Abwab al-Fiqh (mazhab Hanbali) menyatakan:

ولا يحصل الحكم بالمضارع ولا بالأمر، لأن المضارع وعد كقولك: أنا أعتق وأدبر وأطلق، والأمر لا يصلح للإنشاء ولا هو خبر فيؤاخذ المتكلم به

Artinya: ... cerai talak tidak terjadi dengan kalimat kata perintah (fi'il amar) karena ia bukan kalimat berita dan tidak pantas dijadikan pernyataan.

4. Talaknya Orang Marah dengan Kemarahan Tingkat Tertinggi atau Menengah

Abdurrohman Al-Jaziri yaitu Al-Fiqh alal Mazahib al-Arbaah, hlm. 4/142 membagi kemarahan suami yang marah menjadi 3 (tiga) tingkatan sebagai berikut:

أما طلاق الغضبان فاعلم أن بعض العلماء قد قسم الغضب إلى ثلاثة أقسام :
الأول : أن يكون الغضب في أول أمره فلا يغير عقل الغضبان بحيث يقصد ما يقوله ويعلمه ولا ريب في أن الغضبان بهذا المعنى يقع طلاقه وتنفذ عباراته باتفاق الثاني : أن يكون الغضب في نهايته بحيث يغير عقل صاحبه ويجعله كالمجنون الذي لا يقصد ما يقول ولا يعلمه ولا ريب في أن الغضبان بهذا المعنى لا يقع طلاقه لأنه هو والمجنون سواء الثالث : أن يكون الغضب وسطا بين الحالتين بأن يشتد ويخرج عن عادته ولكنه لا يكون كالمجنون الذي لا يقصد ما يقول ولا يعلمه والجمهور على أن القسم الثالث يقع به الطلاق

Artinya: Adapun talaknya orang yang marah maka sebagian ulama membaga kemarahan itu menjadi 3 (tiga) bagian:

Pertama, kemarahan tingkat pertama. Ia tidak merubah akal orang yang marah dalam arti ia sengaja mengucapkan apa yang dikatakan dan menyadarinya. Tidak diragukan bahwa marah dalam tingkat ini sah dan terjadi talaknya menurut kesepakatan ulama.

Kedua, kemarahan tingkat tertinggi yang dapat merubah akal sehingga seperti orang gila yang tidak bersengaja atas apa yang dikatakan dan tidak menyadarinya. Tidak diragukan bahwa kemarahan dalam tingkat ini tidak terjadi talaknya karena ia sama dengan orang gila.

Ketiga, kemarahan tingkat menengah antara tingkat pertama kedua yakni orang yang emosinya meningkat dan keluar dari kebiasaan akan tetapi tidak sampai pada tingkat orang gila yang tidak menyadari apa yang dikatakan. Menurut jumhur (mayoritas ulama antar mazhab) kemarahan tipe ketiga ini sah dan terjadi talaknya.

Pada halaman 4/144 Al-Jaziri dalam kitab yang sama (Al-Fiqh alal Mazahib Al-Arba'ah) mengutip pendapat beberapa mazhab secara detail dan juga pendapat Ibnul Qayyim sbb:

"Mazhab Hanafi menyatakan yang melakukan pembagian marahnya suami menjadi tiga bagian itu adalah Ibnul Qayyim, seorang ulama mazhab Hambali. Ibnu Qayyim memilih pendapat bahwa talaknya orang yang marah dalam kategori ketiga tidak sah dan tidak terjadi talaknya. Pendapat yang tahqiq menurut mazhab Hanafi adalah bahwa orang yang marah yang kemarahannya keluar dari karakter dan kebiasaan aslinya sehingga merubah rasionalitasnya dalam perkataan dan perbuatannya maka talaknya tidak terjadi (tidak sah) walaupun ia sadar dan sengaja dengan apa yang dia katakan. Ia sedang dalam keadaan berubah pemahamannya karena itu maka kesengajaannya itu tidak didasarkan pada pemahaman yang benar, maka ia seperti orang gila. Orang gila tidaklah harus selalu dalam keadaan tidak menyadari apa yang dikatakannya.

Orang yang marah dengan kemarahan tingkat menengah ini sering berbicara rasional tapi tidak bisa terus menerus konsisten bicara logis. Jelas ini menguatkan pendapat Ibnul Qayyim yang menjelaskan bahwa tingkat kemarahan si suami tidak seperti orang gila.. Walaupun Ibnul Qayyim bermazhab Hanbali, akan tetapi ulama mazhab Hanbali tidak mengakui pendapat ini.

Yang dapat difaham dari kaidah keempat mazhab adalah bahwa kemarahan yang tidak sampai merubah kesadaran seseorang dan tidak menjadikannya seperti orang gila maka talaknya sah dan terjadi tanpa keraguan. Begitu juga kemarahan pada tingkat menengah yaitu kemarahan yang sangat sampai ia keluar dari tabiat asal tapi tidak sampai pada tingkat seperti orang gila yang tidak menyadari apa yang dikatakan. Talaknya orang ini juga sah dan terjadi. Adapun talak yang dapat merubah kesadaran sehingga ia menjadi seperti orang gila maka talaknya tidak dianggap dan tidak sah.

Ini adalah pendapat eksplisit dari ulama mazhab Hanafi. Akan tetapi berdasarkan pendapat dari sebagian mazhab Hanafi bahwa kemarahan apabila keluar dari kebiasaan dan membuat si suami tidak rasional dalam perilaku dan perkataan maka talaknya tidak sah dan tidak terjadi. Pendapat ini adalah pendapat yang baik karena dalam keadaan ini ia seperti orang mabuk yang hilang akal dan kesadarannya disebabkan oleh minum miniman non-alkohol maka mereka dihukumi talaknya tidak terjadi. Dengan demikian, maka orang yang marah sebaiknya dihukumi demikian juga.

Ada yang bertanya dengan argumen bahwa menganalogikan orang marah dengan orang mabuk karena minuman non-alkohol telah menjadikan hukum hanya terbatas pada orang yang dimurkai Allah seperti marah karena mempertahankan diri atau harta atau agama. Sedangkan orang yang marahnya karena sebab yang haram seperti marah karena dengki pada orang yang tidak setuju padanya atas perkara batil atau marah pada istrinya secara zalim dan permusuhan dan kemarahannya sampai pada batas ini maka talaknya sah dan terjadi karena kemarahannya membuat dia tidak rasional. Maka jawabannya adalah: bahwa marah adalah sifat personal yang ada pada setiap manusia yang disebabkan oleh pengaruh eksternal. Pada dasarnya marah tidak haram karena ia bersifat inheren pada diri manusia untuk mempertahankan diri dalam membela agama, harga diri, harta dan nyawa. Yang haram adalah menggunakan kemarahan di luar tujuan yang dibolehkan. Beda halnya dengan alkohol yang tidak dibolehkan bagi manusia untuk menggunakannya dalam keadaan apapun. Oleh karena itu, terjadinya talak bagi orang yang mabuk itu sebagai pencegahan agar tidak melakukannya. Sedangkan marah itu tidak mungkin dilarang karena itu merupakan watak bawaan manusia. Karena itu maka tidak sah membandingkan kemarahan manusiawi dengan mabuk karena minuman keras atau hal lain yang haram yang wajib dijauhi."(Lihat, Al-Jaziri, Al-Fiqh alal Mazahib al-Arbaah, 4/144). Untuk teks Arabnya lihat di sini.

Pendapat ini didukung oleh sejumlah ulama Mesir kontemporer seperti Ali Jum'ah (mantan mufti Mesir), Sayyid Sabiq, Jad al-Haq,

5. Suami Cerita Bohong Sudah Menceraikan Istri pada Orang lain

Zakaria Al-Anshari dalam Asnal Matolib 16/147 berkata:

وإن أقر بالطلاق كاذباً لم تطلق زوجته باطناً وإنما تطلق ظاهراً.

Artinya: Apabila suami berbohong mengaku telah mentalak istrinya, maka istrinya tidak tertalak secara batin, tapi tertalak secara lahir.

Maksud tertalak secara lahir adalah pernyataan itu perlu diverifikasi dan dikonfirmasi pada suami dengan dua saksi apakah ucapan itu bohong atau jujur. Kalau suami menyatakan bohong, maka talak tidak sah dan tidak terjadi.

dalam Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj berkata:

ولو قيل له استخباراً، أطلقتها؟ -أي زوجتك- فقال: نعم.. أو مرادفها.... فإقرار به (الطلاق) لأنه صريح إقرار، فإن كذب فهي زوجته باطناً.

Artinya: Kalau ditanya pada suami, "Apakah kamu menceraikan istrimu?" Lalu suami menjawab, "Iya" ... maka itu termasuk ikrar talak yang sah. (Namun) apabila dia bohong, maka istrinya tetap menjadi istri secara batin.

Maksud "istri secara batin" adalah tetap sah menjadi istrinya dan ikrar talaknya tidak sah.

6. Suami Awam Tidak Tahu Konsekuensi Hukum Ucapan Talak

Ada pendapat yang menyatakan bahwa apabila talak yang dikeluarkan oleh suami yang bodoh alias tidak tahu pada konsekuensi hukum ucapan talak-nya, maka talak tidak terjadi. Ibnu Hazm dalam Maratibul Ijmak hlm. 1/72 menyatakan:

وَاخْتلفُوا فِي طلاق الْجَاهِل، فكرهه الْحسن". والمسألة فيها ثلاثة أقوال: القول الأول: يقع طلاقه. القول الثاني: لا يقع طلاقه. القول الثالث: يقع طلاقه قضاءً، إلا أن تظهر قرينة على عدم إرادته الطلاق، فيقضي بها.

Artinya: Ulama berbeda pendapat dalam soal talaknya orang bodoh. Pendapat pertama: talak terjadi. Pendapat kedua, talak tidak terjadi. Pendapat ketiga, talak terjadi secara hukum kecuali ada bukti atas tidak adanya maksud suami untuk bercerai maka dihukumi tidak terjadi talak.

7. UCAPAN TALAK TANPA DISENGAJA PADA MAKNA ASLINYA

Mustofa Al-Suyuti (ulama mazhab Hanbali) dalam Matolib Ulin Nuha, 5/321, menyatakan:

(وَتُعْتَبَرُ إرَادَةُ لَفْظِ الطَّلَاقِ لِمَعْنَاهُ) أَيْ: لَا يُرِيدُ بِهِ غَيْرَ مَا وُضِعَ لَهُ، وَهَذَا لَا يُنَافِي مَا يَأْتِي مِنْ أَنَّ الصَّرِيحَ لَا يَحْتَاجُ إلَى نِيَّةٍ؛ لِأَنَّ الْمُرَادَ أَنَّهُ لَا يَحْتَاجُ إلَى إيقَاعِ شَيْءٍ بِهِ (فَلَا طَلَاقَ) وَاقِعٌ (لِفَقِيهٍ) أَيْ: عَلَيْهِ (يُكَرِّرُهُ) أَيْ الطَّلَاقَ لِلتَّعْلِيمِ، (وَ) لَا طَلَاقَ عَلَى (حَاكٍ) طَلَاقًا (وَلَوْ عَنْ نَفْسِهِ) أَوْ غَيْرِهِ، لِأَنَّهُ لَمْ يَقْصِدْ مَعْنَاهُ، بَلْ التَّعْلِيمَ أَوْ الْحِكَايَةَ

Artinya: Dianggap berkehendak pada kata talak atas makna talak yakni tidak bermaksud dengan kata talak itu kecuali arti yang sudah ditetapkan. Ini tidak menafikan prinsip bahwa talak sharih tidak membutuhkan niat. Karena, yang dimaksud dengan pernyataan ini adalah bahwa tidak butuh menjatuhkan sesuatu padanya. Maka, tidak ada talak yang terjadi bagi (a) ulama fiqih yang mengulang-ulang kata talak untuk mengajar; (b) tidak terjadi talak pada penutur yang mengisahkan talak walaupun berkisah tentang dirinya sendiri atau lainnya karena ia tidak bermaksud pada makna dari talak tapi hanya untuk pengajaran atau cerita.

===============
RUJUKAN

- Al-Quran dan Al-Hadits
- Kitab Al-Umm oleh Imam Syafi'i
- Kitab Mukhtashar al-Fiqh al-Islami fi Dhau al-Quran was Sunnah
- Kitab Al-Majmuk Syarah Muhadzab oleh Imam Nawawi khususnya Kitab al Khuluk dan Kitab at Talaq.
- فتح القريب المجيب في شرح ألفاظ التقريب oleh Abu Zakariya Al Anshari.
- www.pa-negara.go.id

Copypaste dari : www.alkhoirot.net/2012/10/perceraian-dan-talak.html?m=1#notalak5